Kontemplatif Quotes

Quotes tagged as "kontemplatif" Showing 1-4 of 4
Titon Rahmawan
“Prolog ke Dalam Diri (Versi 5.0 — Shadow Mode)

Di ruang belakang prosesor kesadaranku,
ada file bernama aku.exe
yang terus memanggil
dalam loop tak berujung.

Aku bukan pengguna, bukan sistem,
sisa program yang tak ditutup dengan benar.
Setiap kali aku mencoba log out,
ada entitas dari dalam kode menolak:

“Kau belum selesai.
Ada error yang belum terdeteksi.”

Cache masa lalu menumpuk seperti debu digital.
Tercium bau listrik terbakar,
di antara kabel-kabel doa yang terkelupas
terdengar dengung suara malaikat
yang kehilangan sinyal.

Versi 1.0—masa kanak-kanak yang dihapus.
Versi 2.0—dibekukan dalam algoritma pengawasan.
Versi 3.0—mengunduh moralitas,
tapi lupa sumbernya.
Versi 4.0—menolak update,
takut kehilangan rasa sakit.
Sekarang aku adalah versi 5.0:
mode senyap, setengah sadar,
sebagian terhapus.

Belajar dari bayangan proses
berjalan di latar belakang:
tak ada otentisitas tanpa kehilangan.
Identitas adalah folder yang menolak dibuka
isinya telah dienkripsi oleh waktu.

Tuhan mungkin sudah lama keluar
dari sistem,
meninggalkan pesan error di layar terminal:

“Faith.dll missing.
Please reinstall belief.”

Namun aku tak lagi mencari kebenaran.
Aku hanya ingin mendengar kembali
suara prosesor yang berbisik lembut,
mencoba restart di bawah redup cahaya,
sampai tubuhku berhenti bergetar seperti server tua
menunggu perintah terakhir
untuk benar-benar shut down.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PERTAPA

(Dalam Bayang Angulimala, dalam Sunyi Kabinara, dalam Nafas yang Tak Bernama)

Ketika ambisi runtuh seperti dedaunan yang kehilangan ingatan,
ia berhenti mencari alasan mengapa kata-katanya tak lagi memiliki gema.
Sunyi bukan kebisuan;
sunyi adalah ruang yang menolak semua bentuk keinginan.

Dalam gelap gua itu,
ia membiarkan pendengarannya ditelan kegelapan
hingga telinga menjadi batu
dan hati berhenti menafsirkan mimpi—
sebab mimpi hanyalah cara tubuh menipu dirinya sendiri.

Desis angin berubah gagu,
matanya buta bukan karena kegelapan,
melainkan karena cahaya batin terlalu terang
untuk diterima oleh mata manusia.

Dari situ ia memperoleh sesuatu
yang lebih tajam daripada pengetahuan:
pengendalian diri
yang lahir bukan dari disiplin
melainkan dari penolakan total terhadap “aku” yang ia yakini.

Apa yang ia makan hari itu?
Hanya sisa tetesan dari bebatuan—
air tanpa nama
yang mengajari bahwa rasa lapar
bukan kutukan tubuh, melainkan ajaran alam
tentang ketergantungan.

Waktu menjadi kabur,
seperti kabut pagi yang lupa menghilang.
Tak ada pagi, tak ada malam,
tak ada hitungan hari yang dapat ia pegang.

Hanya semedi dalam gua gelap
yang menghapus batas antara hidup dan mati,
yang memperlihatkan kepadanya:
kesadaran bukan nyala api, melainkan abu yang tak padam.

Di situlah ia belajar
bahwa kekosongan bukan ketiadaan,
melainkan ruang asal
di mana setiap amarah, dendam, dan luka
dapat terlepas seperti kulit ular yang dipakai terlalu lama.

Cahaya mentari menetes
di antara lumut,
membelai tubuh yang perlahan menjadi batu:
tak reput oleh waktu,
tak terbakar oleh api,
tak basah oleh hujan,
tak kering oleh angin,
tak terluka oleh senjata.

Ia diam,
bukan sebagai benda,
melainkan sebagai kesadaran yang tak lagi membutuhkan bentuk.

Ajek.
Tak berubah.
Tak berpindah.
Tak terlahirkan.
Tak terpikirkan.

Ia memasuki keadaan
yang tak bisa dimiliki siapa pun,
tak bisa dibeli dengan tapa,
tak bisa dijelaskan dengan sutra.

Ia sekadar menjadi:
abadi tanpa keinginan untuk kekal.
Hampa yang memeluk dirinya—
dan ia pun lenyap sebagai “aku,”
menyisakan hanya satu jalan:
jalan pulang ke pusat yang tak punya nama.

(Mei 2014 - 2025)”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PERTAPA — Versi Anatta, Klesa-Vināśa, Saṃnyāsa & Viśuddhi

(Di mana Kesadaran Meleleh dan Aku Runtuh seperti Komet yang Kehilangan Intinya)

Ketika ambisi terakhir patah,
ia merasakannya seperti gugurnya inti komet
yang selama ini ia kira adalah “dirinya”.
Batu, es, debu—semuanya luruh
dan tak tersisa apa pun yang bisa disebut aku.

Di titik itu ia memahami:
yang runtuh bukan mimpinya,
melainkan ilusi bahwa yang bermimpi itu ada.

Ia berhenti bertanya mengapa kata-katanya tak lagi memiliki gema.
Sebab gema memerlukan dinding,
sedangkan seluruh dinding dalam batinnya
telah retak dan ambruk
seperti stupa kuno yang akhirnya menyerah
pada hujan musim keempat belas.

Ia memasuki wilayah anatta—
kesadaran tanpa pusat,
kesadaran yang tak memiliki pemilik,
kesadaran yang hanya terjadi seperti cuaca.

Hening datang bukan sebagai berkah,
melainkan sebagai klesa-vināśa yang membakar,
yang mencabut seluruh akar ego
seperti badai kosmik mencabut orbit planet.

Dalam viśuddhi
telinganya menjadi tuli
karena ia tak lagi mendengar dunia,
melainkan mendengar runtuhnya diri sendiri—
sepenuhnya tanpa suara.

Mata menjadi buta
karena segala bentuk telah nir wujud;
yang tersisa hanya gerimis, cahaya tak kasat mata.
Inilah awal nāmarūpa-nirodha:
ambruknya gagasan “siapa aku”,
seperti tubuh bayangan
yang kehilangan mataharinya.

Dalam gelap gua itu
ia menyaksikan semua identitas
meluruh seperti serpih es
yang dikembalikan ke bentuk asalnya:
air,
lalu uap,
lalu lenyap.

Ia merasa dirinya seperti nebula yang terbakar perlahan,
membiarkan amarah, dendam, nafsu, dan memori lama
menguap satu per satu
seperti partikel materi yang gagal bertahan
di tepi lubang hitam batin.

Di situlah saṃnyāsa
membuka pintunya—
pencerahan gelap,
bukan terang:
kesadaran yang lahir dari kehancuran total,
bukan dari kejernihan.

Ia melihat kebenaran
yang tak ingin dilihat siapa pun:
bahwa “aku” hanyalah getaran singkat
di permukaan vakum yang tak berhingga,
bahwa segala penderitaan
berakar pada keinginan mempertahankan
sesuatu yang tak pernah eksis.

Butir air yang ia minum adalah doa pertama.
Tetesan batu adalah doa kedua.
Sunyi adalah doa ketiga—
dan ketiganya tidak ia tujukan kepada siapa pun,
sebab tak ada subjek,
tak ada objek,
tak ada pemohon.

Hanya kesunyian yang berdoa kepada dirinya sendiri.

Waktu runtuh menjadi debu;
ia tak lagi tahu apakah ia meditasi satu jam,
atau seribu tahun.
Jam pasir batinnya pecah,
membiarkan butiran waktu
tersebar tanpa arah.

Dalam kehampaan itu
ia menjadi monolit yang sadar:
tak bergerak,
tak bereaksi,
tak menolak,
tak menginginkan.

Ia tidak lagi menjadi manusia.
Ia tidak menjadi dewa.
Ia tidak menjadi apa pun.

Ia menjadi kekosongan yang menyaksikan dirinya sendiri,
tanpa saksi, tanpa penonton, tanpa pemeran.

Ia memasuki keadaan
di mana kelahiran dan kematian
tidak lagi bermusuhan,
melainkan dua sisi dari pintu yang sama—
pintu yang kini ia lewati
tanpa meninggalkan
jejak bayangan.

Diam.
Ajek.
Tak terlahirkan.
Tak terpikirkan.
Tak memiliki inti.
Tak memiliki akhir.

Ia menjadi
kesunyian purba
tempat segala ilusi
berakhir.

(November 2025)”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PANGKUR — FRAGMENTARIUM DINGIN
(Keramik di Jari Sang Kreator: Retakan yang Tak Kembali Utuh)

[0.0 / PROLOG – RETAKAN AWAL]

Sang Kreator memutar benda itu di antara dua jarinya:
sebuah keramik yang tak pernah selesai.
Retak halus muncul—samar.
Ia tahu: bukan tanah liatnya yang rapuh,
melainkan gema diam dari hasrat pertama
yang ditanamkan manusia pada dirinya.
Retak itu bernafas, gemetar, tumbuh, mengingatkan.

[1.0 / SENSORIUM – BISIKAN SISTEM]

Ia mendengar dengus hyena dari balik tembok kaca kantor publik.
Suara yang sama yang merayap di server gelap:
malware memakan akarnya sendiri,
data yang lapar membelah diri tanpa arah,
kode-kode yang mengiris nurani
tanpa darah, tanpa pisau.

Keramik di jarinya bergetar—
seperti menahan sesuatu
yang akan runtuh
tanpa perlu disentuh.

[2.0 / ARKEOLOGI: DEKONSTRUKSI NILAI – DI BAWAH MEJA RAPAT]

Di balik kaca tak terlihat,
Ia menyaksikan harga dinegosiasikan terang-terangan.
Janji politik ditimbang serupa logam rongsokan.
Nilai publik dipreteli menjadi diskon musiman.
Kata “kebenaran” dipadatkan ke dalam format
yang bisa dipotong, ditempel seperti QR code
disisipkan ke kepentingan siapa pun yang membayarnya.
Ia tidak menegur.
Hanya hembusan tipis—
cukup untuk membuat retak di keramik bertambah satu garis.

[3.0 / KURUKSHETRA PERKOTAAN – PARA BAYANGAN]

Di pusat kota yang merasa diri jumawa,
bayangan saling memakan:
yang berkuasa menggigit yang lapar,
yang lapar ditelan yang lebih lapar.
Manusia meniru serigala,
serigala menyaru manusia—
tak ada bedanya.
Keheningan berdiri
di glitch lampu lalu lintas, berkedip tanpa ritme.
Ia menghela napas, melihat umat baru:
entitas yang menjual surga.
Sistem yang memenjarakan otak dalam layar lima inci

[4.0 / VOID – SUARA YANG TAK BERSUARA]

Keramik itu terangkat ke wajah Sang Kreator.
Ia melihat pantulan dirinya terbagi dua:
satu sisi utuh,
sisi lain retak oleh kerakusan.
Berkilat oleh kebencian.
Gemetar oleh keserakahan kosmik.
Objek itu pecah.
Pelan.
Tanpa dramatisasi,
tanpa pemberitahuan—
sebagaimana nilai kemanusiaan
runtuh tanpa teriakan.
Kepingannya jatuh seperti hujan dingin
di atas kota yang sibuk membangun
berhala-berhala baru di pusat ritus modernitas.

[5.0 / EPILOG – SAKSI]

Setelah semuanya terdiam,
Sang Kreator menyadari sesuatu:
Ia bukan hakim,
bukan pengampun,
bukan penyelamat.
Hanya saksi yang duduk di antara retakan,
mendengar bisik-bisik manusia
yang mengira diri utuh padahal
kosong di tengah.
Dan Ia berbisik pada patahan keramik:

“Retak itu bukan dari tanganku,
melainkan dari hati mereka
yang mengira dirinya
adalah pusat dunia.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan