Kematian Quotes
Quotes tagged as "kematian"
Showing 1-30 of 71
“Lebih banyak orang menghadapi kematian di atas tempat tidur daripada orang yang mati di atas pesawat.
Tetapi kenapa lebih banyak orang yang takut mati ketika menaiki pesawat daripada orang yang takut menaiki tempat tidur.
More people can see the face of death while their sleep in their own bed rather than people who can see the face of death while their flying in the plane.
But why more people scare to take a plane than people who take a bed.”
―
Tetapi kenapa lebih banyak orang yang takut mati ketika menaiki pesawat daripada orang yang takut menaiki tempat tidur.
More people can see the face of death while their sleep in their own bed rather than people who can see the face of death while their flying in the plane.
But why more people scare to take a plane than people who take a bed.”
―
“Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.”
― Rectoverso
― Rectoverso
“Tuhan percaya kamu. Dia ngga mengejar kamu dengan kematian. Dia ngga seegois manusia. Dia bukan pendendam.”
― Dan Hujan Pun Berhenti
― Dan Hujan Pun Berhenti
“Kematianku tak lebih dari seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik pada akhir kalimat sajaknya.”
― Laut Bercerita
― Laut Bercerita
“Kematian selalu membuntuti Kehidupan dengan begitu dekat, bukanlah karena keharusan biologis, melainkan karena rasa iri. Kehidupan ini begitu indah, sehingga maut pun jatuh cinta padanya. Cinta yang pencemburu dan posesif, yang menyambar apapun yang bisa diambilnya”
― Life of Pi
― Life of Pi
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,
Telah meninggal dunia ibu, oma, nenek kami tercinta....
Requiescat in pace et in amore,
Telah dipanggil ke rumah Bapa di surga, anak, cucu kami terkasih....
Dalam sehari, Bunda menerima dua kabar (duka cita / suka cita) sekaligus. Apakah kesedihan serupa cucuran air hujan yang jatuh dan mengusik keheningan kolam? Apakah kebahagiaan seperti sebuah syair yang mesti dipertanyakan mengapa ia digubah? Bagaimana kita mesti menjawab pertanyaan tentang kematian orang orang terdekat? Mengapa mereka pergi? Kemana mereka akan pergi?
Memento mori, serupa nyala api dan ngengat yang terbakar. Seperti juga lilin yang padam, bunga yang layu, ranting yang kering, pohon yang meranggas. Mereka hanyalah sebuah pertanda, bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Agar kita senantiasa teringat pada tempus fugit, bahwa waktu yang berlalu tak akan pernah kembali. Ketika Bunda masih muda, sesungguhnya Bunda sudah tidak lagi muda, tak akan pernah bertambah muda, tak akan kembali muda. Waktu telah merenggut kemudaan kita pelan pelan. Ketuaan adalah sebuah keniscayaan, dan kematian adalah sebuah kepastian.
Tak ada sesuatu pun yang abadi, Anakku. Ingatan tentang mati semestinya memberi kita pelajaran berharga. Jangan pernah menyia nyiakan waktu. Jangan hilang niat untuk bangkit dari ranjang. Jangan terlalu malas untuk bekerja. Jangan terlalu letih untuk menuntaskan hari. Jangan pernah lupa untuk berdoa. Jangan lalai untuk bersyukur. Jadikan hari ini sebagai milikmu. Ketika semua perkara seakan menggiring langkahmu pada kesulitan, kegagalan, ketidakpastian dan rasa sakit. Pikirkanlah siapa yang akan jadi malaikat pelindung dan penolongmu? Bagaimana engkau akan menemukan eudaimonia? Bagaimana engkau hendak memaknai hidup?
Dalam sekejap mata hidup bisa berubah. Waktu berlalu dan ia tak akan pernah kembali. Gunakan kesempatan untuk bercermin pada permukaan air yang jernih. Tatap langsung kedalaman telaga yang balik menatap kepada dirimu. Abaikan rasa sakit dan penderitaan, sebab puncak gunung sudah membayang di depan mata dan terbit matahari akan menghangatkan kalbumu. Cuma dirimu yang punya kendali atas pikiran, hasrat dan nafsu, perasaan dan kesadaran inderawi, persepsi, naluri dan semua tindakanmu sendiri.
Ketika kita mengingat kematian, kita tidak akan lagi merasa gentar. Sebab ia lembut, ia tak lagi menakutkan. Ia justru menuntaskan segala rasa sakit dan penderitaan. Ia pengejawantahan waktu yang berharga, kecantikan yang abadi, indahnya rasa syukur, dan kemuliaan di balik setiap ucapan terima kasih. Ia mengajarkan kita bagaimana menghargai kehidupan yang sesungguhnya. Ia membimbing kita menemukan pintu takdir kita sendiri.
Apapun perubahan yang menghampiri dirimu. Ia adalah pintu rahasia yang menjanjikan kejutan yang tak akan pernah kamu sangka sangka. Yang terbaik adalah menerimanya sebagai berkat. Apa yang ada dalam dirimu adalah kekuatanmu. Engkau akan membuatnya berarti. Bagi mereka yang paham, takdir dan kematian adalah sebuah karunia, seperti juga kehidupan. Sesungguhnyalah kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.”
―
Telah meninggal dunia ibu, oma, nenek kami tercinta....
Requiescat in pace et in amore,
Telah dipanggil ke rumah Bapa di surga, anak, cucu kami terkasih....
Dalam sehari, Bunda menerima dua kabar (duka cita / suka cita) sekaligus. Apakah kesedihan serupa cucuran air hujan yang jatuh dan mengusik keheningan kolam? Apakah kebahagiaan seperti sebuah syair yang mesti dipertanyakan mengapa ia digubah? Bagaimana kita mesti menjawab pertanyaan tentang kematian orang orang terdekat? Mengapa mereka pergi? Kemana mereka akan pergi?
Memento mori, serupa nyala api dan ngengat yang terbakar. Seperti juga lilin yang padam, bunga yang layu, ranting yang kering, pohon yang meranggas. Mereka hanyalah sebuah pertanda, bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Agar kita senantiasa teringat pada tempus fugit, bahwa waktu yang berlalu tak akan pernah kembali. Ketika Bunda masih muda, sesungguhnya Bunda sudah tidak lagi muda, tak akan pernah bertambah muda, tak akan kembali muda. Waktu telah merenggut kemudaan kita pelan pelan. Ketuaan adalah sebuah keniscayaan, dan kematian adalah sebuah kepastian.
Tak ada sesuatu pun yang abadi, Anakku. Ingatan tentang mati semestinya memberi kita pelajaran berharga. Jangan pernah menyia nyiakan waktu. Jangan hilang niat untuk bangkit dari ranjang. Jangan terlalu malas untuk bekerja. Jangan terlalu letih untuk menuntaskan hari. Jangan pernah lupa untuk berdoa. Jangan lalai untuk bersyukur. Jadikan hari ini sebagai milikmu. Ketika semua perkara seakan menggiring langkahmu pada kesulitan, kegagalan, ketidakpastian dan rasa sakit. Pikirkanlah siapa yang akan jadi malaikat pelindung dan penolongmu? Bagaimana engkau akan menemukan eudaimonia? Bagaimana engkau hendak memaknai hidup?
Dalam sekejap mata hidup bisa berubah. Waktu berlalu dan ia tak akan pernah kembali. Gunakan kesempatan untuk bercermin pada permukaan air yang jernih. Tatap langsung kedalaman telaga yang balik menatap kepada dirimu. Abaikan rasa sakit dan penderitaan, sebab puncak gunung sudah membayang di depan mata dan terbit matahari akan menghangatkan kalbumu. Cuma dirimu yang punya kendali atas pikiran, hasrat dan nafsu, perasaan dan kesadaran inderawi, persepsi, naluri dan semua tindakanmu sendiri.
Ketika kita mengingat kematian, kita tidak akan lagi merasa gentar. Sebab ia lembut, ia tak lagi menakutkan. Ia justru menuntaskan segala rasa sakit dan penderitaan. Ia pengejawantahan waktu yang berharga, kecantikan yang abadi, indahnya rasa syukur, dan kemuliaan di balik setiap ucapan terima kasih. Ia mengajarkan kita bagaimana menghargai kehidupan yang sesungguhnya. Ia membimbing kita menemukan pintu takdir kita sendiri.
Apapun perubahan yang menghampiri dirimu. Ia adalah pintu rahasia yang menjanjikan kejutan yang tak akan pernah kamu sangka sangka. Yang terbaik adalah menerimanya sebagai berkat. Apa yang ada dalam dirimu adalah kekuatanmu. Engkau akan membuatnya berarti. Bagi mereka yang paham, takdir dan kematian adalah sebuah karunia, seperti juga kehidupan. Sesungguhnyalah kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.”
―
“Apakah arti kematian ini selain pelukan keabadian. Tempat kemana air mataku jatuh bergulir, kemana rohku pergi melangkah, dan sayap-sayapku terbang tinggi membubung.
- Harsimran Tapasvi, Tawanan Kepedihan”
―
- Harsimran Tapasvi, Tawanan Kepedihan”
―
“Hidup adalah segala
yang menuju;
yang dituju
Hidup adalah penantian
yang panjang;
yang sementara
Hidup adalah rahasia
yang rumit;
yang sederhana
Hidup adalah teka-teki
yang usai tatkala mati.”
―
yang menuju;
yang dituju
Hidup adalah penantian
yang panjang;
yang sementara
Hidup adalah rahasia
yang rumit;
yang sederhana
Hidup adalah teka-teki
yang usai tatkala mati.”
―
“Aku pernah merasakan betapa hampanya tak memiliki tujuan hidup, sementara kematian enggan menjemput.”
― Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
― Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
“Kesedihan membawa mereka pergi dan berakhir di sini. Di mana air mata tidak pernah pergi, di mana kesedihan bertahan dan kehidupan berakhir.”
― Kita Pergi Hari Ini
― Kita Pergi Hari Ini
“Kematian akan membatalkan semua nestapa, suatu penghujung yang tak bisa dilalui oleh penyakit; mengembalikan kita pada kedamaian yang menaungi kita sebelum kita lahir.”
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life
“Hanya orang lemah yang mati karena menanggung sakit, tapi hanya orang bodoh yang tetap hidup untuk menahan rasa sakit. (Surat-surat 58. 32-36).”
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life
“Bagi mereka yang mencintai kehidupan, (kematian) tentu saja mengerikan, sayangku. Tapi, jelas terdengar menjemukan di telinga orang hamba yang sehari-hari berhadapan dengan kematian (hlm. 55).”
― Kura-Kura Berjanggut
― Kura-Kura Berjanggut
“Kematian selalu menyisakan kesedihan bagi yang ditinggalkan. Apalagi bila kematian itu datang dengan cara yang tak wajar.”
― Nostalgia Merah
― Nostalgia Merah
“Kita tidak pernah berhitung. Berapa air mata yang jatuh dalam kehidupan? Hingga akhirnya, kita dijatuhi air mata karena kematian.”
― Lisa San No Machigatta Koi
― Lisa San No Machigatta Koi
“Mata panah terlepas dari busur
tidak engkau tahu di mana jatuhnya.
Laksana perjalanan engkau
di mana akan berhenti.”
― Langit Membuka Lipatan
tidak engkau tahu di mana jatuhnya.
Laksana perjalanan engkau
di mana akan berhenti.”
― Langit Membuka Lipatan
“Dibuka pintu langit
cukup luas rahmat Dia.
Dibuka pintu tanah
sekadar muat jasad engkau.”
― Langit Membuka Lipatan
cukup luas rahmat Dia.
Dibuka pintu tanah
sekadar muat jasad engkau.”
― Langit Membuka Lipatan
“Berbahagialah mereka yang masih menyempatkan diri untuk sekadar mensyukuri detik-detik yang masih mereka miliki, kekasih.
Karena terkadang kita tak pernah benar-benar tahu (kapan kematian akan mengendap-endap, dan meringkus kita sewaktu-waktu)”
―
Karena terkadang kita tak pernah benar-benar tahu (kapan kematian akan mengendap-endap, dan meringkus kita sewaktu-waktu)”
―
“Bagi sebagian besar orang di India, hidup yang berat ternyata tak serta merta berakhir saat kematian tiba.”
― Yatra & Madhyaantar
― Yatra & Madhyaantar
“Secara tidak kita sadari bahwa detik ini kita sebenarnya sedang menjalani proses kematian, sebab ia bukanlah peristiwa sesaat, ia terjadi secara bertahap, dan kita sudah memulainya sejak kita dilahirkan.”
―
―
“Penderitaan itu penting, agar manusia lebih siap menghadapi kematian.”
― Kumpulan Kalimat Demotivasi II: Panduan Hidup Bahagia Untuk Medioker
― Kumpulan Kalimat Demotivasi II: Panduan Hidup Bahagia Untuk Medioker
“Hubungan orangtua dan anak adalah hubungan paling dekat yang bisa dimiliki manusia dan tidak bisa diputus dengan apapun. Ada bagian orangtua dalam diri anak dan sebaliknya, seperti saling memiliki. Sayangnya, manusia lebih sering tidak tahu apa yang dimiliki hingga nanti hal itu hilang. Manusia sering tidak sadar pentingnya kehadiran orang terdekat, sampai mereka dijemput kematian.”
― Pendidikan Keluarga Kami
― Pendidikan Keluarga Kami
“Setiap bagian dari tubuhmu adalah sistem yang sedang menuju kehancuran. Tidak peduli seberapa sehat kamu hari ini, tidak peduli seberapa keras kamu merawatnya, tubuhmu perlahan tapi pasti sedang menuju titik di mana semuanya berhenti bekerja.
Otakmu, pusat kesadaran yang kamu anggap sebagai identitasmu, hanyalah jaringan listrik dan reaksi kimia yang semakin hari semakin melemah. Neuron-neuron yang dulu tajam kini mulai kehilangan efisiensinya. Memori yang kamu anggap abadi akan pudar, sampai akhirnya kamu tidak lagi mengenali dirimu sendiri. Saat otakmu mati, semua yang pernah kamu rasakan, pikirkan, dan impikan akan lenyap—seolah tidak pernah ada.
Jantungmu, mesin biologis yang tanpa lelah memompa darah ke seluruh tubuh, perlahan akan melemah. Dinding pembuluh darah yang dulu fleksibel kini menebal, aliran darahmu melambat, dan suatu hari, denyut yang selama ini kau anggap biasa akan berhenti selamanya. Tanpa suara, tanpa peringatan, hanya sebuah akhir yang tak bisa dihindari.
Paru-parumu, organ yang menghidupimu dengan udara, juga tidak luput dari hukum entropi. Seiring waktu, elastisitasnya berkurang, kapasitasnya menurun, dan perlahan tapi pasti, setiap tarikan napas menjadi pengingat bahwa kamu semakin dekat dengan kesudahan.
Tulang dan ototmu, yang dulu kuat dan penuh tenaga, kini menjadi rapuh. Setiap gerakan mulai terasa berat, persendianmu mulai berderit seperti mesin tua yang kehilangan pelumasnya. Tidak peduli seberapa keras kamu berolahraga, tidak peduli seberapa banyak vitamin yang kamu konsumsi—semuanya hanya menunda yang tak terelakkan.
Kulitmu, yang dulu kencang dan segar, mulai mengendur, penuh garis-garis halus yang mengingatkan bahwa waktu tidak pernah berhenti. Luka yang dulu sembuh dalam hitungan hari kini butuh waktu lebih lama, sampai akhirnya tubuhmu tidak lagi bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Di dalam dirimu, sel-selmu, yang pernah beregenerasi dengan sempurna, mulai melakukan kesalahan. Mutasi kecil yang tidak terlihat mulai menumpuk. Sistem yang dulu berjalan mulus mulai kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya, tubuhmu sendiri akan menjadi musuhnya, membiarkan entropi mengambil alih dan membawa semuanya menuju kehancuran yang pasti.
Ini bukan spekulasi, ini adalah fakta. Entropi tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melawan. Tidak ada teknologi, tidak ada ilmu, tidak ada doa yang bisa menghentikan proses ini. Pada akhirnya, tubuhmu akan kembali ke tanah, menjadi debu, menyatu dengan sistem yang lebih besar—sama seperti jutaan makhluk lain yang telah lenyap sebelum kamu. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kamu akan menjalani hidupmu dengan menyadari kepastian ini, atau terus bersembunyi dalam ilusi bahwa kamu bisa menghindarinya?”
―
Otakmu, pusat kesadaran yang kamu anggap sebagai identitasmu, hanyalah jaringan listrik dan reaksi kimia yang semakin hari semakin melemah. Neuron-neuron yang dulu tajam kini mulai kehilangan efisiensinya. Memori yang kamu anggap abadi akan pudar, sampai akhirnya kamu tidak lagi mengenali dirimu sendiri. Saat otakmu mati, semua yang pernah kamu rasakan, pikirkan, dan impikan akan lenyap—seolah tidak pernah ada.
Jantungmu, mesin biologis yang tanpa lelah memompa darah ke seluruh tubuh, perlahan akan melemah. Dinding pembuluh darah yang dulu fleksibel kini menebal, aliran darahmu melambat, dan suatu hari, denyut yang selama ini kau anggap biasa akan berhenti selamanya. Tanpa suara, tanpa peringatan, hanya sebuah akhir yang tak bisa dihindari.
Paru-parumu, organ yang menghidupimu dengan udara, juga tidak luput dari hukum entropi. Seiring waktu, elastisitasnya berkurang, kapasitasnya menurun, dan perlahan tapi pasti, setiap tarikan napas menjadi pengingat bahwa kamu semakin dekat dengan kesudahan.
Tulang dan ototmu, yang dulu kuat dan penuh tenaga, kini menjadi rapuh. Setiap gerakan mulai terasa berat, persendianmu mulai berderit seperti mesin tua yang kehilangan pelumasnya. Tidak peduli seberapa keras kamu berolahraga, tidak peduli seberapa banyak vitamin yang kamu konsumsi—semuanya hanya menunda yang tak terelakkan.
Kulitmu, yang dulu kencang dan segar, mulai mengendur, penuh garis-garis halus yang mengingatkan bahwa waktu tidak pernah berhenti. Luka yang dulu sembuh dalam hitungan hari kini butuh waktu lebih lama, sampai akhirnya tubuhmu tidak lagi bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Di dalam dirimu, sel-selmu, yang pernah beregenerasi dengan sempurna, mulai melakukan kesalahan. Mutasi kecil yang tidak terlihat mulai menumpuk. Sistem yang dulu berjalan mulus mulai kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya, tubuhmu sendiri akan menjadi musuhnya, membiarkan entropi mengambil alih dan membawa semuanya menuju kehancuran yang pasti.
Ini bukan spekulasi, ini adalah fakta. Entropi tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melawan. Tidak ada teknologi, tidak ada ilmu, tidak ada doa yang bisa menghentikan proses ini. Pada akhirnya, tubuhmu akan kembali ke tanah, menjadi debu, menyatu dengan sistem yang lebih besar—sama seperti jutaan makhluk lain yang telah lenyap sebelum kamu. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kamu akan menjalani hidupmu dengan menyadari kepastian ini, atau terus bersembunyi dalam ilusi bahwa kamu bisa menghindarinya?”
―
“NISAN KEEMPAT
tanah pesarean
hening.
angin wetan
membawa bau akar basah
dan jejak rotasi
yang belum hilang.
aku berdiri
di samping istrimu—
tubuhnya goyah
seperti daun sawo yang dipagut gerimis.
anak-anakmu diam,
mata mereka retak
seperti kendi tua
yang pernah jatuh
di pawon rumah.
dari kejauhan
puisi tercenung
ia tak menunduk.
tak ikut berduka.
ia hanya mencatat luka
yang merembes
pelan
ke tanah liat.
kafan menutupi wajahmu.
pundakmu dipeluk tanah.
suara cangkul
terdengar seperti ratap
yang tak ingin pergi.
seekor prenjak
meloncat di ranting randu.
sekali.
dua kali.
hening.
lalu terbang ke arah barat—
seakan memberi kabar
kepada leluhur
bahwa satu jiwa
telah kembali.
asap dupa
naik pelan
seperti nyala
yang kehilangan tuhan.
di ujungnya
warna abu
bergetar
mencari arah pulang.
“Ruh…”
hanya itu yang sempat keluar.
sisanya
adalah gumam
yang tak sempat
menjadi doa.
dulu
aku kehilangan kangmas Danu
tanpa tahu apa artinya mati.
lalu aku terlambat kepulangan Bapak.
terlambat kepergian Ibuk.
kini
ketelambatan itu kembali
duduk di belakangku
seperti bayang waktu
yang enggan beranjak.
nisanmu ditegakkan.
dingin.
sederhana.
tanpa nama.
sepotong batu
yang menimbang
keberadaan
dengan cara
yang terlalu sunyi.
dari sela tanah
angin kecil muncul—
membawa bau jamur,
rumput liar,
dan sesuatu
yang tak dapat kusebut.
mungkin itu suwung,
mungkin langgatan,
mungkin waskita
getar kecil
yang tersisa
dari tubuhmu.
anakmu memanggil pelan.
istrimu menggigit bibir.
aku menahan napas
sebab tak ada kata
yang benar-benar bisa
mengantar jiwa.
geguritan di kejauhan
hanya penanda
mengambil satu langkah mundur
melipat waktu yang berjalan lambat
cahaya sore
mengiris tubuhnya
tipis seperti garis
di punggung keris tua.
di langit
awan bergerak ke selatan.
pelan.
seperti tangan
yang ditangkupkan
atau melambai
bahwa sesuatu
sedang ditutup.
dan aku tahu—
di bawah nisanmu
satu pintu telah terbuka
di dalam Syamaloka:
pintu gelap
yang menghubungkan
Danu,
Bapak,
Ibuk,
kau,
dan batu nisan berikutnya
yang mungkin
adalah nisan
dari batin
kami sendiri.
Desember 2025”
―
tanah pesarean
hening.
angin wetan
membawa bau akar basah
dan jejak rotasi
yang belum hilang.
aku berdiri
di samping istrimu—
tubuhnya goyah
seperti daun sawo yang dipagut gerimis.
anak-anakmu diam,
mata mereka retak
seperti kendi tua
yang pernah jatuh
di pawon rumah.
dari kejauhan
puisi tercenung
ia tak menunduk.
tak ikut berduka.
ia hanya mencatat luka
yang merembes
pelan
ke tanah liat.
kafan menutupi wajahmu.
pundakmu dipeluk tanah.
suara cangkul
terdengar seperti ratap
yang tak ingin pergi.
seekor prenjak
meloncat di ranting randu.
sekali.
dua kali.
hening.
lalu terbang ke arah barat—
seakan memberi kabar
kepada leluhur
bahwa satu jiwa
telah kembali.
asap dupa
naik pelan
seperti nyala
yang kehilangan tuhan.
di ujungnya
warna abu
bergetar
mencari arah pulang.
“Ruh…”
hanya itu yang sempat keluar.
sisanya
adalah gumam
yang tak sempat
menjadi doa.
dulu
aku kehilangan kangmas Danu
tanpa tahu apa artinya mati.
lalu aku terlambat kepulangan Bapak.
terlambat kepergian Ibuk.
kini
ketelambatan itu kembali
duduk di belakangku
seperti bayang waktu
yang enggan beranjak.
nisanmu ditegakkan.
dingin.
sederhana.
tanpa nama.
sepotong batu
yang menimbang
keberadaan
dengan cara
yang terlalu sunyi.
dari sela tanah
angin kecil muncul—
membawa bau jamur,
rumput liar,
dan sesuatu
yang tak dapat kusebut.
mungkin itu suwung,
mungkin langgatan,
mungkin waskita
getar kecil
yang tersisa
dari tubuhmu.
anakmu memanggil pelan.
istrimu menggigit bibir.
aku menahan napas
sebab tak ada kata
yang benar-benar bisa
mengantar jiwa.
geguritan di kejauhan
hanya penanda
mengambil satu langkah mundur
melipat waktu yang berjalan lambat
cahaya sore
mengiris tubuhnya
tipis seperti garis
di punggung keris tua.
di langit
awan bergerak ke selatan.
pelan.
seperti tangan
yang ditangkupkan
atau melambai
bahwa sesuatu
sedang ditutup.
dan aku tahu—
di bawah nisanmu
satu pintu telah terbuka
di dalam Syamaloka:
pintu gelap
yang menghubungkan
Danu,
Bapak,
Ibuk,
kau,
dan batu nisan berikutnya
yang mungkin
adalah nisan
dari batin
kami sendiri.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
