Entropi Quotes
Quotes tagged as "entropi"
Showing 1-24 of 24
“Kamu bisa menyangkal kenyataan, tapi waktu tidak akan berhenti hanya karena kamu keras kepala.”
―
―
“Kamu selalu merasa paling benar? Selalu menutup telinga terhadap pendapat orang lain? Berpikir bahwa dunia berputar di sekitarmu? Baik, tapi entropi tidak peduli dengan egomu..”
―
―
“Setiap kata yang kamu abaikan, setiap kebenaran yang kamu tolak, tetap tidak akan mengubah fakta bahwa kamu hanyalah makhluk sementara yang sedang menuju kehancuran.”
―
―
“Kamu bisa berteriak bahwa kamu selalu benar, tapi suatu hari nanti, suaramu akan hilang. Lidahmu akan membusuk, otakmu yang sekarang kamu anggap penuh kepintaran akan mati dalam keheningan. Jantungmu tidak akan peduli seberapa keras kamu percaya pada dirimu sendiri—ketika saatnya tiba, ia akan berhenti berdetak tanpa menanyakan pendapatmu.”
―
―
“Entropi tidak menerima argumen. Ia tidak peduli dengan keyakinanmu, tidak tertarik pada kesombonganmu. Kamu bisa menolak perubahan, tapi perubahan tetap akan menelanmu. Kamu bisa merasa paling benar, tapi tubuhmu tetap akan menjadi debu, sama seperti mereka yang pendapatnya dulu kamu remehkan.”
―
―
“Dan ketika akhirnya datang, tidak ada lagi ruang untuk debat. Tidak ada kata-kata terakhir yang bisa menyelamatkanmu. Tidak ada kepastian yang bisa kamu genggam. Kamu hanya akan menjadi sisa-sisa kehancuran, seperti semua orang lain yang pernah berpikir mereka lebih tahu segalanya.”
―
―
“Kamu merasa dirimu dewa? Merasa kebal terhadap waktu? Merasa lebih tinggi dari manusia lain? Lucu. Entropi tidak peduli dengan egomu. Tidak peduli seberapa kuat, seberapa cerdas, atau seberapa berkuasa kamu, tubuhmu hanyalah mesin yang menunggu untuk rusak.”
―
―
“Darah yang mengalir di pembuluhmu perlahan akan menggumpal. Jantung yang kamu anggap perkasa akan melemah. Otot-otot yang sekarang kamu banggakan akan menyusut, tulangmu akan menjadi rapuh, dan sendi-sendimu akan terasa seperti engsel berkarat. Otakmu, pusat segala kesadaran dan kesombonganmu, suatu saat akan kehilangan daya, sampai akhirnya kamu tidak lagi tahu siapa dirimu.”
―
―
“Kamu bisa mengendalikan orang, membangun kerajaan, atau menguasai dunia, tetapi kamu tidak akan pernah bisa mengalahkan entropi. Setiap detik yang berlalu adalah kemenangan kecil bagi kehancuran yang menunggumu. Dewa macam apa yang tidak bisa menghentikan tubuhnya sendiri dari membusuk? Dewa macam apa yang akan terkubur dalam tanah, dimakan belatung, dan akhirnya dilupakan?”
―
―
“Jadi silakan terus merasa dirimu dewa. Silakan anggap dirimu abadi. Tapi ketika waktu merenggutmu, ketika tubuhmu tidak lagi bisa menyangga kesombonganmu, jangan menangis, jangan mengiba. Karena entropi tidak akan mendengar. Ia hanya akan terus bekerja, seperti yang selalu ia lakukan, menghancurkan segalanya tanpa pengecualian.”
―
―
“Kita terus menerus menyerap energi materi, terus belajar dan terus memperbaharui informasi yang pada dasarnya adalah cara kita melawan peningkatan entropi. Tentu saja, meskipun kita terus berusaha berkembang ke arah yang lebih baik, kita hanya mengurangi kecepatan peningkatan entropi sebanyak mungkin. Karna hasilnya tetap tidak akan bisa dirubah. Hidup pada akhirnya akan mencapai garis finish.”
―
―
“Setiap bagian dari tubuhmu adalah sistem yang sedang menuju kehancuran. Tidak peduli seberapa sehat kamu hari ini, tidak peduli seberapa keras kamu merawatnya, tubuhmu perlahan tapi pasti sedang menuju titik di mana semuanya berhenti bekerja.
Otakmu, pusat kesadaran yang kamu anggap sebagai identitasmu, hanyalah jaringan listrik dan reaksi kimia yang semakin hari semakin melemah. Neuron-neuron yang dulu tajam kini mulai kehilangan efisiensinya. Memori yang kamu anggap abadi akan pudar, sampai akhirnya kamu tidak lagi mengenali dirimu sendiri. Saat otakmu mati, semua yang pernah kamu rasakan, pikirkan, dan impikan akan lenyap—seolah tidak pernah ada.
Jantungmu, mesin biologis yang tanpa lelah memompa darah ke seluruh tubuh, perlahan akan melemah. Dinding pembuluh darah yang dulu fleksibel kini menebal, aliran darahmu melambat, dan suatu hari, denyut yang selama ini kau anggap biasa akan berhenti selamanya. Tanpa suara, tanpa peringatan, hanya sebuah akhir yang tak bisa dihindari.
Paru-parumu, organ yang menghidupimu dengan udara, juga tidak luput dari hukum entropi. Seiring waktu, elastisitasnya berkurang, kapasitasnya menurun, dan perlahan tapi pasti, setiap tarikan napas menjadi pengingat bahwa kamu semakin dekat dengan kesudahan.
Tulang dan ototmu, yang dulu kuat dan penuh tenaga, kini menjadi rapuh. Setiap gerakan mulai terasa berat, persendianmu mulai berderit seperti mesin tua yang kehilangan pelumasnya. Tidak peduli seberapa keras kamu berolahraga, tidak peduli seberapa banyak vitamin yang kamu konsumsi—semuanya hanya menunda yang tak terelakkan.
Kulitmu, yang dulu kencang dan segar, mulai mengendur, penuh garis-garis halus yang mengingatkan bahwa waktu tidak pernah berhenti. Luka yang dulu sembuh dalam hitungan hari kini butuh waktu lebih lama, sampai akhirnya tubuhmu tidak lagi bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Di dalam dirimu, sel-selmu, yang pernah beregenerasi dengan sempurna, mulai melakukan kesalahan. Mutasi kecil yang tidak terlihat mulai menumpuk. Sistem yang dulu berjalan mulus mulai kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya, tubuhmu sendiri akan menjadi musuhnya, membiarkan entropi mengambil alih dan membawa semuanya menuju kehancuran yang pasti.
Ini bukan spekulasi, ini adalah fakta. Entropi tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melawan. Tidak ada teknologi, tidak ada ilmu, tidak ada doa yang bisa menghentikan proses ini. Pada akhirnya, tubuhmu akan kembali ke tanah, menjadi debu, menyatu dengan sistem yang lebih besar—sama seperti jutaan makhluk lain yang telah lenyap sebelum kamu. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kamu akan menjalani hidupmu dengan menyadari kepastian ini, atau terus bersembunyi dalam ilusi bahwa kamu bisa menghindarinya?”
―
Otakmu, pusat kesadaran yang kamu anggap sebagai identitasmu, hanyalah jaringan listrik dan reaksi kimia yang semakin hari semakin melemah. Neuron-neuron yang dulu tajam kini mulai kehilangan efisiensinya. Memori yang kamu anggap abadi akan pudar, sampai akhirnya kamu tidak lagi mengenali dirimu sendiri. Saat otakmu mati, semua yang pernah kamu rasakan, pikirkan, dan impikan akan lenyap—seolah tidak pernah ada.
Jantungmu, mesin biologis yang tanpa lelah memompa darah ke seluruh tubuh, perlahan akan melemah. Dinding pembuluh darah yang dulu fleksibel kini menebal, aliran darahmu melambat, dan suatu hari, denyut yang selama ini kau anggap biasa akan berhenti selamanya. Tanpa suara, tanpa peringatan, hanya sebuah akhir yang tak bisa dihindari.
Paru-parumu, organ yang menghidupimu dengan udara, juga tidak luput dari hukum entropi. Seiring waktu, elastisitasnya berkurang, kapasitasnya menurun, dan perlahan tapi pasti, setiap tarikan napas menjadi pengingat bahwa kamu semakin dekat dengan kesudahan.
Tulang dan ototmu, yang dulu kuat dan penuh tenaga, kini menjadi rapuh. Setiap gerakan mulai terasa berat, persendianmu mulai berderit seperti mesin tua yang kehilangan pelumasnya. Tidak peduli seberapa keras kamu berolahraga, tidak peduli seberapa banyak vitamin yang kamu konsumsi—semuanya hanya menunda yang tak terelakkan.
Kulitmu, yang dulu kencang dan segar, mulai mengendur, penuh garis-garis halus yang mengingatkan bahwa waktu tidak pernah berhenti. Luka yang dulu sembuh dalam hitungan hari kini butuh waktu lebih lama, sampai akhirnya tubuhmu tidak lagi bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Di dalam dirimu, sel-selmu, yang pernah beregenerasi dengan sempurna, mulai melakukan kesalahan. Mutasi kecil yang tidak terlihat mulai menumpuk. Sistem yang dulu berjalan mulus mulai kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya, tubuhmu sendiri akan menjadi musuhnya, membiarkan entropi mengambil alih dan membawa semuanya menuju kehancuran yang pasti.
Ini bukan spekulasi, ini adalah fakta. Entropi tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melawan. Tidak ada teknologi, tidak ada ilmu, tidak ada doa yang bisa menghentikan proses ini. Pada akhirnya, tubuhmu akan kembali ke tanah, menjadi debu, menyatu dengan sistem yang lebih besar—sama seperti jutaan makhluk lain yang telah lenyap sebelum kamu. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kamu akan menjalani hidupmu dengan menyadari kepastian ini, atau terus bersembunyi dalam ilusi bahwa kamu bisa menghindarinya?”
―
“Tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melupakan umurmu, entropi tidak akan lupa. Setiap sel di tubuhmu membawa jam biologis yang terus berdetak menuju kehancuran. Kamu bisa berpura-pura tidak mendengar, tapi suatu hari nanti, tubuhmu akan berteriak dengan sangat jelas: "Kamu tidak muda lagi. Terimalah atau hancurlah dalam kepalsuan.”
―
―
“Jadi teruslah flexing, teruslah membangun citra palsu seolah kamu bisa menang melawan waktu. Tapi sadarilah satu hal: entropi tidak bisa ditipu, dan pada akhirnya, kamu akan menjadi sama seperti semua orang lain—tua, rapuh, dan terlupakan.”
―
―
“Jadi, nikmati perasaan “muda” itu selagi bisa. Karena sebelum kamu sadar, kamu akan melihat wajahmu di cermin dan tidak mengenali siapa yang menatap balik. Entropi sudah menunggu, dan pada akhirnya, kamu akan jatuh ke dalam kehancuran seperti semua orang lain. Tidak ada yang spesial darimu.”
―
―
“Dan otakmu? Itu yang paling menyedihkan. Sekarang mungkin masih tajam, refleks masih cepat, tapi sinapsis yang menghubungkan pikiranmu mulai goyah. Pelan tapi pasti, ingatanmu akan kabur, fokusmu akan melemah, dan tanpa sadar, kamu akan menjadi versi lamban dari dirimu sendiri.”
―
―
“Kamu pikir otakmu spesial? Kamu pikir kesadaranmu itu nyata? Omong kosong. Otakmu hanyalah tumpukan lemak dan listrik yang perlahan-lahan membusuk, mengikis ingatanmu, merusak logikamu, dan pada akhirnya mengubahmu menjadi sekadar mayat hidup yang tersesat dalam kehampaan.
Setiap detik, neuronmu mati. Tidak peduli seberapa cerdas kamu merasa, sinapsis yang dulu tajam kini semakin lambat, semakin lemah, semakin kacau. Dopamin, serotonin, dan semua zat kimia yang memberimu ilusi kebahagiaan dan motivasi? Mereka berkurang, membuatmu makin apatis, makin tidak peduli, makin kosong.
Kamu pikir bisa melawan? Makan makanan sehat? Meditasi? Latihan otak? Percuma. Entropi tetap menang. Semakin bertambah usia, otakmu akan menyusut, belitan neuron yang dulu kompleks akan menjadi labirin kusut yang penuh dengan plak dan sampah seluler. Fokusmu akan hancur, ingatanmu akan terkikis, dan pada akhirnya kamu bahkan tidak akan ingat siapa dirimu.
Dan yang paling ironis? Saat otakmu mulai benar-benar rusak, kamu tidak akan menyadarinya. Kamu akan tetap merasa "baik-baik saja," padahal sistemmu sedang mengalami degradasi tanpa ampun. Lalu tiba waktunya, ketika sinyal listrik yang dulu membuatmu "hidup" akhirnya padam. Semua pemikiran, kenangan, dan kesadaranmu? Hilang. Tidak ada jiwa, tidak ada kebangkitan, hanya kehampaan.
Jadi, nikmati sekarang selagi bisa. Karena cepat atau lambat, otakmu akan menjadi bangkai kering yang tak ada bedanya dengan debu. Kamu hanyalah ilusi sementara dalam pusaran entropi.”
―
Setiap detik, neuronmu mati. Tidak peduli seberapa cerdas kamu merasa, sinapsis yang dulu tajam kini semakin lambat, semakin lemah, semakin kacau. Dopamin, serotonin, dan semua zat kimia yang memberimu ilusi kebahagiaan dan motivasi? Mereka berkurang, membuatmu makin apatis, makin tidak peduli, makin kosong.
Kamu pikir bisa melawan? Makan makanan sehat? Meditasi? Latihan otak? Percuma. Entropi tetap menang. Semakin bertambah usia, otakmu akan menyusut, belitan neuron yang dulu kompleks akan menjadi labirin kusut yang penuh dengan plak dan sampah seluler. Fokusmu akan hancur, ingatanmu akan terkikis, dan pada akhirnya kamu bahkan tidak akan ingat siapa dirimu.
Dan yang paling ironis? Saat otakmu mulai benar-benar rusak, kamu tidak akan menyadarinya. Kamu akan tetap merasa "baik-baik saja," padahal sistemmu sedang mengalami degradasi tanpa ampun. Lalu tiba waktunya, ketika sinyal listrik yang dulu membuatmu "hidup" akhirnya padam. Semua pemikiran, kenangan, dan kesadaranmu? Hilang. Tidak ada jiwa, tidak ada kebangkitan, hanya kehampaan.
Jadi, nikmati sekarang selagi bisa. Karena cepat atau lambat, otakmu akan menjadi bangkai kering yang tak ada bedanya dengan debu. Kamu hanyalah ilusi sementara dalam pusaran entropi.”
―
“Mau tahu yang lebih menyedihkan dari tubuhmu yang membusuk? Bahkan di tingkat paling dasar—atom yang membentukmu—kamu tidak lebih dari kumpulan partikel yang perlahan kehilangan kendali.
Elektron yang mengelilingi nukleusmu? Mereka tidak stabil. Orbital yang dulu teratur sekarang penuh dengan gangguan, energi thermal membuat mereka terus bergerak liar, tanpa tujuan selain mempercepat kehancuran sistem. Ikatan kimia yang membentuk protein, DNA, dan segala sesuatu yang menyusun tubuhmu? Mereka rentan terhadap reaksi acak yang merusak. Mutasi, degradasi, entropi bekerja tanpa henti untuk merobekmu dari dalam.
Kamu pikir kamu istimewa? Kamu hanyalah konfigurasi sementara dari atom-atom yang akan tercerai berai. Begitu kamu mati, tubuhmu akan mulai terurai. Ikatan peptida di protein tubuhmu akan putus, membran sel akan bocor, dan semua molekul yang dulu menyusunmu akan dilepas kembali ke alam, terpecah menjadi bentuk yang lebih sederhana, lebih tidak berarti.
Tidak ada keabadian dalam dirimu. Atom-atom yang sekarang membentuk jari-jarimu, matamu, bahkan otakmu, dulunya adalah bagian dari sesuatu yang lain—mungkin bintang yang meledak jutaan tahun lalu, mungkin bangkai makhluk yang sudah lama hilang.
Dan nanti? Mereka akan menjadi bagian dari sesuatu yang lain lagi. Kamu tidak pernah memiliki eksistensi sejati, hanya sebuah formasi sementara dalam tarian kekacauan kosmik.
Jadi, berhenti berpikir kamu bisa melawan. Pada akhirnya, entropi menang. Atom-atom yang sekarang menyusun tubuhmu tidak peduli padamu. Mereka akan tetap ada, tapi kamu? Kamu akan hilang, dilupakan, dan akhirnya tidak berarti sama sekali.”
―
Elektron yang mengelilingi nukleusmu? Mereka tidak stabil. Orbital yang dulu teratur sekarang penuh dengan gangguan, energi thermal membuat mereka terus bergerak liar, tanpa tujuan selain mempercepat kehancuran sistem. Ikatan kimia yang membentuk protein, DNA, dan segala sesuatu yang menyusun tubuhmu? Mereka rentan terhadap reaksi acak yang merusak. Mutasi, degradasi, entropi bekerja tanpa henti untuk merobekmu dari dalam.
Kamu pikir kamu istimewa? Kamu hanyalah konfigurasi sementara dari atom-atom yang akan tercerai berai. Begitu kamu mati, tubuhmu akan mulai terurai. Ikatan peptida di protein tubuhmu akan putus, membran sel akan bocor, dan semua molekul yang dulu menyusunmu akan dilepas kembali ke alam, terpecah menjadi bentuk yang lebih sederhana, lebih tidak berarti.
Tidak ada keabadian dalam dirimu. Atom-atom yang sekarang membentuk jari-jarimu, matamu, bahkan otakmu, dulunya adalah bagian dari sesuatu yang lain—mungkin bintang yang meledak jutaan tahun lalu, mungkin bangkai makhluk yang sudah lama hilang.
Dan nanti? Mereka akan menjadi bagian dari sesuatu yang lain lagi. Kamu tidak pernah memiliki eksistensi sejati, hanya sebuah formasi sementara dalam tarian kekacauan kosmik.
Jadi, berhenti berpikir kamu bisa melawan. Pada akhirnya, entropi menang. Atom-atom yang sekarang menyusun tubuhmu tidak peduli padamu. Mereka akan tetap ada, tapi kamu? Kamu akan hilang, dilupakan, dan akhirnya tidak berarti sama sekali.”
―
“Gula: Racun Manis yang Mempercepat Kehancuranmu
Setiap kali kamu memasukkan gula ke dalam tubuhmu, kamu sedang mempercepat proses kehancuranmu sendiri. Kamu pikir itu cuma sekadar permen, minuman manis, atau camilan kecil yang "tidak apa-apa"? Tidak. Itu adalah racun yang diam-diam mempercepat entropi tubuhmu, membuat organ-organmu membusuk lebih cepat dari yang seharusnya.
Pankreasmu? Dipaksa kerja rodi. Setiap kali kamu menelan gula, pankreasmu harus memompa insulin lebih keras untuk menyeimbangkan kadar gula darahmu. Tapi ini bukan mesin yang bisa bekerja tanpa batas. Lama-lama, pankreasmu lelah, kehabisan tenaga, dan akhirnya menyerah—selamat datang di dunia diabetes, di mana tubuhmu sendiri menjadi medan perang yang tidak bisa kamu menangkan.
Jantungmu? Dijerat perlahan. Gula tidak hanya membuatmu gemuk, tapi juga menciptakan plak di pembuluh darahmu. Kamu pikir masih sehat? Tunggu sampai jantungmu harus bekerja dua kali lipat untuk memompa darah melalui pembuluh yang semakin menyempit. Serangan jantung? Stroke? Itu bukan kejutan—itu adalah konsekuensi yang sudah kamu bangun sendiri.
Hatimu? Dihancurkan tanpa ampun. Terlalu banyak gula tidak hanya merusak pankreas dan jantung, tapi juga membuat hati (liver)mu berubah menjadi gumpalan lemak. Hati yang seharusnya menjadi pusat detoksifikasi tubuhmu malah menjadi tempat penyimpanan sampah lemak akibat gula yang berlebihan. Selamat, sekarang kamu punya penyakit hati berlemak non-alkoholik, sesuatu yang dulunya hanya diderita oleh pecandu alkohol—tapi sekarang, kamu mendapatkannya hanya dengan hobi minum bubble tea setiap hari.
Otakmu? Melemah secara perlahan. Kamu pikir gula memberi energi? Itu hanya sementara, sebelum akhirnya otakmu menjadi tumpul akibat resistensi insulin di sistem sarafmu. Ingatanmu mulai kabur, fokusmu menurun, dan kamu akan mulai merasakan kabut otak—sebuah gejala nyata bahwa gula telah merusak fungsi kognitifmu.
Dan yang paling brutal? Tubuhmu mulai menua lebih cepat dari yang seharusnya. Gula menciptakan reaksi glikasi dalam tubuhmu, yang berarti kulitmu kehilangan elastisitas, sel-sel tubuhmu lebih cepat rusak, dan kamu mulai terlihat lebih tua dari umurmu seharusnya. Kerutan muncul lebih awal, stamina menurun drastis, dan sebelum kamu sadar, kamu sudah berada di titik kehancuran total.
Jadi, silakan terus makan gula, terus menikmati "kenikmatan sesaat" itu. Tapi jangan kaget saat tubuhmu mulai runtuh lebih cepat dari orang lain. Karena entropi tidak peduli dengan penyesalan. Tubuhmu bukan hanya mengalami penuaan alami—tubuhmu sedang dihancurkan lebih cepat oleh setiap sendok gula yang kamu masukkan sendiri.”
―
Setiap kali kamu memasukkan gula ke dalam tubuhmu, kamu sedang mempercepat proses kehancuranmu sendiri. Kamu pikir itu cuma sekadar permen, minuman manis, atau camilan kecil yang "tidak apa-apa"? Tidak. Itu adalah racun yang diam-diam mempercepat entropi tubuhmu, membuat organ-organmu membusuk lebih cepat dari yang seharusnya.
Pankreasmu? Dipaksa kerja rodi. Setiap kali kamu menelan gula, pankreasmu harus memompa insulin lebih keras untuk menyeimbangkan kadar gula darahmu. Tapi ini bukan mesin yang bisa bekerja tanpa batas. Lama-lama, pankreasmu lelah, kehabisan tenaga, dan akhirnya menyerah—selamat datang di dunia diabetes, di mana tubuhmu sendiri menjadi medan perang yang tidak bisa kamu menangkan.
Jantungmu? Dijerat perlahan. Gula tidak hanya membuatmu gemuk, tapi juga menciptakan plak di pembuluh darahmu. Kamu pikir masih sehat? Tunggu sampai jantungmu harus bekerja dua kali lipat untuk memompa darah melalui pembuluh yang semakin menyempit. Serangan jantung? Stroke? Itu bukan kejutan—itu adalah konsekuensi yang sudah kamu bangun sendiri.
Hatimu? Dihancurkan tanpa ampun. Terlalu banyak gula tidak hanya merusak pankreas dan jantung, tapi juga membuat hati (liver)mu berubah menjadi gumpalan lemak. Hati yang seharusnya menjadi pusat detoksifikasi tubuhmu malah menjadi tempat penyimpanan sampah lemak akibat gula yang berlebihan. Selamat, sekarang kamu punya penyakit hati berlemak non-alkoholik, sesuatu yang dulunya hanya diderita oleh pecandu alkohol—tapi sekarang, kamu mendapatkannya hanya dengan hobi minum bubble tea setiap hari.
Otakmu? Melemah secara perlahan. Kamu pikir gula memberi energi? Itu hanya sementara, sebelum akhirnya otakmu menjadi tumpul akibat resistensi insulin di sistem sarafmu. Ingatanmu mulai kabur, fokusmu menurun, dan kamu akan mulai merasakan kabut otak—sebuah gejala nyata bahwa gula telah merusak fungsi kognitifmu.
Dan yang paling brutal? Tubuhmu mulai menua lebih cepat dari yang seharusnya. Gula menciptakan reaksi glikasi dalam tubuhmu, yang berarti kulitmu kehilangan elastisitas, sel-sel tubuhmu lebih cepat rusak, dan kamu mulai terlihat lebih tua dari umurmu seharusnya. Kerutan muncul lebih awal, stamina menurun drastis, dan sebelum kamu sadar, kamu sudah berada di titik kehancuran total.
Jadi, silakan terus makan gula, terus menikmati "kenikmatan sesaat" itu. Tapi jangan kaget saat tubuhmu mulai runtuh lebih cepat dari orang lain. Karena entropi tidak peduli dengan penyesalan. Tubuhmu bukan hanya mengalami penuaan alami—tubuhmu sedang dihancurkan lebih cepat oleh setiap sendok gula yang kamu masukkan sendiri.”
―
“Kau bisa menyangkal gravitasi, tapi coba lompat dari gedung
—lihat... apakah pendapatmu bisa menyelamatkanmu dari jatuh ke tanah?
Kau bisa merasa kuat, tapi gravitasi tetap akan menarikmu ke tanah.
Kau bisa merasa tak terkalahkan, tapi momentum tetap akan menghancurkanmu saat kau menabrak tembok.”
―
—lihat... apakah pendapatmu bisa menyelamatkanmu dari jatuh ke tanah?
Kau bisa merasa kuat, tapi gravitasi tetap akan menarikmu ke tanah.
Kau bisa merasa tak terkalahkan, tapi momentum tetap akan menghancurkanmu saat kau menabrak tembok.”
―
“Kau bisa melawan manusia, kau bisa durhaka pada penciptaan, tapi kau tak akan pernah menang melawan hukum alam. Karena pada akhirnya, entropi akan menghapusmu dari sejarah, seolah kau tak pernah ada.”
―
―
“Kau bisa menyangkal kelelahan, tapi hukum termodinamika tetap berlaku: energi tak bisa diciptakan dari ketiadaan. Kau bisa meremehkan gaya, tapi gravitasi tetap akan membebani sendimu sampai kau bungkuk. Kau bisa merasa tak terkalahkan, tapi entropi tetap akan menggerogoti tubuhmu sampai kau hancur.”
―
―
“Fisikawan terbesar pun tetap tunduk pada hukum-hukum ini, apalagi kau yang hanya manusia biasa. Kau bisa sombong, bisa menantang alam, bisa merasa di atas segalanya—tapi fisika tetap akan menertawakanmu dengan kehancuran!!”
―
―
“Setiap kali langit menumpahkan airnya, kau mengeluh...Sedikit gerimis, kau kesal...Hujan deras, kau marah...Banjir? kau mengutuk perbuatan Tuhan.
Seolah dunia ini diciptakan hanya untuk memenuhi kenyamananmu yg rapuh!!!”
―
Seolah dunia ini diciptakan hanya untuk memenuhi kenyamananmu yg rapuh!!!”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
