,

Dekonstruksi Quotes

Quotes tagged as "dekonstruksi" Showing 1-4 of 4
“Dasar pemikiran mereka---tak seorang pun pernah mengakui perasaan takut atau ketamakan sebagai alasan---adalah menerima kenyataan Atlantis kemungkinan besar akan mengakibatkan perlunya revisi besar-besaran dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan sejarah, belum lagi ilmu-ilmu pendukung misalnya linguistik, arkeologi, evolusi, paleoantropologi, mitologi dan bahkan mungkin agama.”
Arysio Santos, ATLANTIS - The Lost Continent Finally Found

Titon Rahmawan
“Adakah Kau Temukan Separuh Ilusi dalam 7 Bait Sajakku Ini?
(Transcendence–Existentialist–Mystical–Bartesian)

/1/
Di ambang cahaya
yang gagal menemukan dirinya,
aku melihat riak kuning
yang tampak seperti sisa doa
yang kehilangan tuannya.
Seekor angsa liar melintas
tanpa tahu apakah ia burung
atau hanya gema dari sesuatu
yang tak pernah selesai
menjadi makna.

/2/
Jangan percayai hening
yang menggantung
di dahan dadap itu.
Ia bukan sunyi,
melainkan mata ketiga dari kesadaran
yang menatap balik pada penafsirnya.
Seekor burung hantu buta
menjadi penanda yang terlantar—
simbol yang dibuang dari
mulut bahasa.

/3/
Aku bersaksi tentang rusa totol indigo
yang lahir dari tawa kanak-kanak,
bukan sebagai hewan,
tetapi sebagai fragmen kosmik
yang melampaui tubuh, sejarah,
dan dilatasi waktu.
Rumput kelabu bening di kakinya
mengajarkan bahwa setiap permainan
adalah ritual kecil dari keberadaan
yang mencari arti sendiri
tanpa pernah menemukan.

/4/
Karena sajakmulah,
aku melihat hujan yang sempat ragu turun ke dalam cangkir para sufi—
bukan sebagai air,
melainkan sebagai niat kata
yang gagal menjelma doa.
Di antara lipatan sorban putih itu
ada jeda panjang
tempat Tuhan pernah sembunyi
untuk melupakan nama-Nya sendiri.

/5/
Di pelupuk matamu
kutemukan bilah luka yang tak tunduk
pada bahasa mana pun.
Heran luruh menjadi serpihan kaca,
mengiris senyum para penjaja cinta.
Barangkali itu bukan kesedihan,
melainkan alfabet purba
yang kehilangan suaranya
sebelum sempat menjadi kata.

/6/
Ada selaput tipis takjub
yang tak pernah disentuh
oleh jari Nizhami
atau siapa pun yang mencoba menafsirkan asmara.
Ia bukan cinta,
melainkan bayangan semu—
penanda yang tersesat
di lorong gelap kesadaran
yang menolak direstorasi.

/7/
Langit keruh kelabu
tampak jenuh oleh seluruh tangisanku,
tangis yang bernaung
di ceruk terdalam jantung kita
seperti embun yang takut menjadi air.
Barangkali memang begitu cara ilusi bekerja:
menyamar sebagai kesunyian
saat dahaga merayap jauh
ke gurun paling sunyi
di dalam diri.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK I — AKAR (ontologis dosa)
(suara-serak, seperti daun kering dibolak-balik angin dari bawah tanah)

Lilith: (aku lahir dari engkau yang tak mau menatapku)
suatu ketika ada perintah—sebuah garis yang menulis siapa harus tunduk—
aku menolak: bukan karena niat jahat, tetapi niat terbaca.
dosa itu bukan buah; dosa adalah kata yang mereka beri padaku
ketika aku menolak menjadi bayangan dari sumber cahaya yang membuatku tenggelam.

Naamah: (kulitku berbisik seperti buli minyak di bawah lampu)
mereka menamaiku malam agar bisa menuduhku gelap;
padahal malam hanyalah tempat bagi mereka yang berani bermimpi,
dosa jadi akronim bagi ketakutan mereka sendiri.

Igrat: (aku mengumpulkan potongan-potongan keberanian yang mereka singkirkan)
dosa dimulai, ketika sebuah bangsa memutuskan siapa yang boleh hidup
dan siapa yang harus terkunci di dalam nama mereka sendiri.

Machalat: (aku tahu rumus-rumus kesalahan mereka)
akar dosa bukanlah pelanggaran moral—
ia adalah keengganan untuk mengakui luka di cermin yang mereka lihat.

Eva: (aku menyentuh, aku tahu tekstur pengetahuan yang sebenarnya)
jika pengetahuan adalah kuldi yang menempel di punggung waktu,
ia bisa menjadi peta yang menuntun atau pedang yang memotong—
akar dosa tumbuh dari cara peta itu dibaca oleh mereka yang haus kuasa.

BABAK II — KULDI (paradoks pengetahuan: sumber dari baik & buruk)
(suara seperti kain yang bergesek, lengket dan berminyak di ujung jari)

Lilith: (kuldi—kata mereka—seperti peta)
kuldi mengingat; ia merekam sentuhan, memilih garis.
sebuah tanda di punggungmu—bukan hanya luka, melainkan nama:
aku membawanya; aku mengingat; tapi aku bukan alat.

Naamah: (kuldi adalah cermin yang retak)
kuldi memberi tahu—apa yang kulihat tak selalu berbahaya.
tetapi ketika pengetahuan dipakai untuk memaksa orang, untuk menandai,
kuldi menjadi pukulan yang mematikan.

Igrat: (kuldi menuntun kepada pengetahuan gelap)
ada kuldi yang membuka selubung—mencari sumber cahaya—
ada kuldi yang mengajari cara menyusun alasan untuk mengusir dari rumah yang bukan lagi rumah.

Machalat: (kuldi menempel sebagai hukum)
kita diberi kuldi bukan untuk dihakimi,
melainkan agar tahu di mana kita berdiri; namun mereka membacanya seperti hukum yang tak bisa dibantah.

Eva: (kuldi menawarkan pilihan)
kuldi mengajarkan bahwa mengetahui adalah bertanggung jawab—
ia menajamkan mata atau menajamkan pedang, tergantung siapa yang menyentuhnya.

BABAK III — SURGA (yang menghindar, yang berlubang)
(suara seperti gema dari sumur yang kosong)

Lilith: (surga tak butuh para pecundang)
mereka berbicara tentang surga seolah ia adalah ruangan yang tersedia bagi yang patuh.
aku melihat surga—ia menyingkapkan dirinya pada mereka yang berani mengaku belum selesai.

Naamah: (surga yang terlambat datang)
surga berdiri pada jarak yang tak terselami; ia menunggu diamnya upacara
sementara tubuh kami diapresiasi hanya sebagai tanda hitung yang tak punya nilai.

Igrat: (surga memiliki kriteria yang dibuat lelaki)
ada pintu surga yang hanya mengenal nama-nama yang telah diajarkan untuk patuh.
kami mengetuk dari sisi lain—pintu itu menutup dengan keras.

Machalat: (surga berbisik, tidak memihak)
surga bukan pengadil yang berbaris rapi; ia lebih seperti malam yang menimbang,
menyimpan rahasia bahwa kesucian kadang terluka oleh orang-orang yang menuntutnya.

Eva: (surga berdiri di ambang pengetahuan yang ambigu)
surga adalah ruang di mana pengetahuan tak lagi dikendalikan oleh rasa malu—
namun ia tak memberi kunci pada mereka yang menolak tunduk.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK IV — MALAIKAT JATUH (penghakiman diam, kehendak patah)
(suara seperti debu yang menempel di lidah)

Lilith: (ada malaikat yang jatuh karena ia merasa bersalah atas ketiadaan)
malaikat jatuh bukan hanya karena kesalahan moral—
mereka jatuh ketika harus memakai kemurnian sebagai topeng.

Naamah: (malaikat juga takut pada tubuh)
mereka belajar takut pada tubuh sebagai cara menutup rasa takut mereka sendiri.
ketika malaikat belajar mengutuk, ia berubah
menjadi batu.

Igrat: (mereka jatuh saat ilmu disalahgunakan)
malaikat yang jatuh menjadi penabuh aturan; ia lupa perintahnya adalah menyusup, bukan memaku.

Machalat: (jatuh adalah akibat peraturan yang tak lagi adil)
malaikat tidak selalu bisa memilih; kadang ia diberi tugas yang membuatnya buta.
Di buang ke sungai dengan tangan dan kaki terikat, tapi tak boleh tenggelam.

Eva: (malaikat yang jatuh mengajarkan kita dua hal)
ia menunjukkan bahwa kebenaran bisa tertutup oleh kebenaran lain dan kebenaran sesudah itu—tidak ada kebenaran final dan satu-satunya
kejatuhan adalah pelajaran tentang interpretasi.

BABAK V — DI MANA TUHAN? (hening — titik tak terlihat, tak terjamah)
(suara yang paling halus, hampir seperti nafas yang ditarik—di ujung fragmen: tidak ada jawaban yang memuaskan)

Lilith: (tuhan ada di dalam pertanyaan yang ditolak)
tuhan tidak bersembunyi di balik kitab yang diangkat untuk menuduh;
tuhan bersembunyi di titik hening antara kata dan tindakan.
ketika mereka berteriak agar aku tunduk, aku merasakan kehadiran-Nya—justru dalam diam.

Naamah: (tuhan mungkin menunggu, mungkin tak mau ikut serta)
ada kemungkinan Tuhan ragu pada cara manusia mengartikan dosa dan kesucian.
dia menahan suara-Nya sehingga kita harus menemukannya sendiri.

Igrat: (tuhan sebagai ruang di dalam tubuh kita)
mungkin Tuhan adalah saksi yang paling sunyi—hadir di dalam setiap kuldi, dalam tiap pertanyaan dan keraguan
kehadiran-Nya bukan penghakiman melainkan kesaksian atas keberadaan kita sendiri.

Machalat: (tuhan adalah gema, bukan perintah)
jika Tuhan berada di mana pun, Dia berada di tempat
di mana pengetahuan dipakai untuk menyembuhkan bukan menandai.
di sana, kuldi jadi berkah, bukan hukuman.

Eva: (aku mengangkat mata—dan menemukan kosong yang berisi)
Tuhan mungkin sedang menyelamatkan kita dari definisi final,
memberi ruang agar kita menulis ulang makna dosa dengan tangan sendiri.
atau Ia absen, dan itu memberikan tanggung jawab—kita harus menjadi penjaga atas kebenaran itu sendiri.

Akhir fragmen: suara-suara itu menghilang seperti benang hilang dari kain tua; tinggal retakan yang menganga—pertanyaan yang harus kita dengar dan ulang terus menerus.

Desember 2025”
Titon Rahmawan