Sintesa Quotes

Quotes tagged as "sintesa" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“Khajuraho III
(Reinkarnasi Suwung)

Khajuraho,
di tikungan malam yang menggantung seperti dupa kehilangan napas,
aku kembali menapaki jejak yang tak mau pudar.
Retakan waktu yang kau tinggal sebagai isyarat
bahwa sunyi pun dapat berubah menjadi tubuh
—dan tubuh dapat menjadi kutukan yang tak pernah pergi.

Madu,
engkau bukan lagi perempuan,
engkau serpih trauma yang mengapung di atas pusaran batin,
suara samar dari lorong yang menelan,
mendorong, memuntahkan,
lalu menarikku kembali
seperti arwah yang lupa jalan pulang.

Di pelataran candi batin ini,
aku mendengar getar yang dulu disebut hasrat:
kini ia hanya bunyi gending rusak
yang dipetik jari-jari waktu
di atas batu-batu yang tak pernah selesai kautata.
Gending yang pernah memancing nafsu,
kini hanya menyalakan kabut luka
yang menolak mati.

Lelaplah, Madu.
Atau lenalah engkau di antara reruntuhan ingatanku.
Sebab malam ini,
aku tidak mencarimu sebagai tubuh,
melainkan sebagai mantra yang tercecer
dari upacara purba yang gagal.

Wajahmu,
yang dulu kutatap dengan gairah jejaka,
kini kembali sebagai bayangan arkais
di permukaan sendang kesadaranku yang paling keruh.
Bukan paras:
melainkan peringatan
bahwa segala yang kusentuh
membawa diriku lebih dalam
ke liang yang ingin kulupakan.

Kembenmu, jarit lusuhmu,
setagen yang longgar itu—
semua telah bergeser dari erotika
menjadi liturgi luka.
Setiap lipatan kainmu
bukan lagi undangan,
melainkan aksara purba
yang tak bisa kubaca
tanpa gemetar.

Betapa jenaka dahulu coreng-morengmu,
kini menjadi topeng dewa kecil
yang menjaga pintu ke ruang
di mana aku terperangkap
antara rindu dan penolakan.

Candi ini,
arkib batin yang kautinggalkan dalam diriku,
adalah gua tempat aku
didorong ke tepi kesadaran sendiri.
Reruntuhan yang kutata ulang setiap malam
agar trauma memiliki bentuk,
agar hasrat memiliki kubur,
agar aku dapat menyebut namamu
tanpa berdarah lagi.

Madu—
Maduku yang tidak lagi lunak dan molek
kini engkau batu berlumut
yang mengingatkan bahwa tubuh
adalah prasasti yang gampang retak.
Bahwa hasrat
adalah sungai yang menolak diam.
Bahwa cinta
adalah bayangan yang menolak
ditimpa cahaya.

Di atas ujung ceruk dadaku yang paling pilu,
kutangkap aura suci yang dulu kusebut
nafsu.
Kini ia hanyalah kunang-kunang
tak bercahaya yang hilang di antara
dua zaman:
zaman ketika aku ingin memilikimu,
dan zaman ketika aku ingin melupakanmu.

Sayap-sayap Jatayu
gemetar di sela jari waktuku,
berusaha menyibak rahasiamu
yang tidak lagi erotik
melainkan mistik.
Mantra gelap yang merasuk
bukan ke tubuh…
tetapi ke ingatan.

Betapa ingin aku menyentuhmu,
bukan dengan murka lelaki,
tetapi dengan ngeri seorang peziarah
yang tahu bahwa setiap permukaan
yang tampak indah
menyimpan sumur
yang dapat menelannya hidup-hidup.

Khajuraho,
saksikanlah aku malam ini.
Bukan lagi jejaka kolokan yang kalah oleh tajam tatap matamu,
melainkan ruh yang belajar
melihat tubuh sebagai batu,
batu sebagai ruang,
ruang sebagai luka,
luka sebagai guru.

Dan engkau, Madu—
bukan lagi kekasih,
melainkan cahaya terakhir
yang terjepit
di antara dua kelopak mimpi.

Aku tidak ingin menelanjangimu.
Aku hanya ingin
memahami mengapa setiap detakmu
masih menggema
di rongga candi batinku
yang tak pernah selesai
kujaga dari keruntuhan.

Malam ini,
di bawah hujan yang turun
seperti kabut peringatan,
aku sadar:

bahwa hasrat adalah guru gelap,
dan trauma adalah kuil
tempat aku belajar sujud
pada apa yang lebih tinggi
dari diriku sendiri.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“LITANI MAKHLUK DI DALAM PERUT PELANTANG
(Dongeng Singkat Tentang Seekor Anjing yang Mimpi Menjadi Mikropon,
dan Sebuah Mikropon yang Diam-diam Ingin Menjadi Anjing)

I. Retakan Kausa

Dari atap takdir yang menggigil, hujan turun bukan sebagai air,
melainkan sebagai serpih ingatan yang ditinggalkan generasi
yang percaya bahwa pengeras suara lebih suci daripada detak jantung sendiri.

Angin menghafal nama-nama yang diteriakkan—
tetapi kini nama-nama itu berubah menjadi bulu-bulu halus
yang mengelupas dari makhluk yang belum sempurna bentuknya.

Ia berjalan pincang, mengendus karat,
mendengarkan doa yang mendesis seperti minyak panas
dari dasar kuali.

II. Tubuh yang Menjadi Simbol dan Simbol yang Menjadi Makhluk

Di museum moralitas,
patung-patung pendosa tertawa.
Namun malam itu, satu patung retak;
dari celahnya keluar seekor anak anjing berwarna
ungu kebiruan yang terlalu pucat untuk disebut hidup.

Ia meminjam moncong dari sejarah nenek moyangnya,
meminjam telinga dari debu pendiangan,
dan meminjam suara dari mikropon yang lupa kapan ia berhenti bernyanyi.

“Biarkan aku menjadi lidahmu,” katanya,
“agar kata-kata yang kau lempar ke langit
tak lagi memantul sebagai propaganda yang kehilangan ibu.”

III. Doa dalam Dapur Penghakiman

Dalam mimpimu, ia muncul sebagai penghibur yang lelah—
alas bedaknya retak,
gincunya belepotan di pipi, kakinya gemetar,
tetapi matanya menyimpan tahapan-tahapan kesedihan
yang jauh lebih tua daripada artefak yang kau yakini suci.

Ia melihatmu mencari bayangan sendiri
di dekat api yang tak pernah benar-benar menyala,
dan tersenyum jenaka:

“Barangkali kau benci bukan pada tubuhku,
tapi pada suara yang tak berani kau sebutkan namanya.”

Mikropon itu mendengar,
dan getarannya menjadi litani—
tanpa tuduhan, tanpa penghakiman,
hanya gema dari mulut tanah yang gemetar.

IV. Wajah Luka yang Tidak Dipamerkan

Ketika kau akhirnya menyingkap wajah makhluk itu,
kulitnya mengelupas,
darahnya meletup;
ia mengalir sebagai sungai merah yang sangat panjang,
hampir seperti selendang yang menutup dunia
setiap kali manusia kelelahan menipu dirinya sendiri.

Di balik selendang itu, mikropon tua menunduk:
“Apakah ini tubuhmu? Atau tubuhku?
Atau tubuh semua kata yang tak pernah kita izinkan hidup?”

V. Jalan Sunyi yang Menganga ke Dalam Tanah

Makhluk itu—entah anjing, entah kesaksian—
tak terbang ke langit.
Ia menyelam ke lapisan bumi paling pekat,
ke lorong-lorong di mana gema doa
tak lagi memohon keselamatan
tetapi memohon untuk dikenali.

Di sana, telinganya mekar sebagai kaktus hijau berduri,
tunggal, lapar,
menunggu disentuh tetapi tak pernah mengizinkan dipetik.

VI. Nyanyian Mikropon yang Tak Lagi Menguasai Apa Pun

Di permukaan, mikropon itu masih terus bernyanyi.
Namun kini suaranya serak—
bukan karena kehilangan kuasa,
tetapi karena ia akhirnya mendengar dirinya sendiri
sebagai makhluk yang juga ingin disembuhkan.

Ia menyanyikan nama-nama
yang angin pernah hafal,
yang langit pernah kutuki,
yang bumi pernah telan:
suara-suara yang hanya ingin satu hal sederhana—
tidak menjadi yang paling benar,
tidak menjadi yang paling suci,
hanya menjadi lirih terdengar
tanpa harus menggantikan suara siapa pun.

VII. Litani Terakhir

Dan di sela-sela jeda itu,
kau mungkin menangkap bisikan:
bahwa tidak ada anjing yang benar-benar mati,
tidak ada mikropon yang benar-benar berkuasa,
tidak ada doa yang benar-benar berbohong—
hanya makhluk-makhluk yang terus belajar
menerima wujudnya
tanpa harus menutup mata kepada siapa pun
atau menyalakan api yang dapat membakar siapa saja.

Litani selesai.
Tidak ada amin.
Yang tersisa hanya gema yang mengingatkan
bahwa kebenaran—
kadang-kadang—
membutuhkan seekor anjing yang terlahir dari lumpur
dan sebuah mikropon berkarat
untuk saling menyelamatkan.

Desember 2025”
Titon Rahmawan