Liturgi Quotes
Quotes tagged as "liturgi"
Showing 1-1 of 1
“Khajuraho III
(Reinkarnasi Suwung)
Khajuraho,
di tikungan malam yang menggantung seperti dupa kehilangan napas,
aku kembali menapaki jejak yang tak mau pudar.
Retakan waktu yang kau tinggal sebagai isyarat
bahwa sunyi pun dapat berubah menjadi tubuh
—dan tubuh dapat menjadi kutukan yang tak pernah pergi.
Madu,
engkau bukan lagi perempuan,
engkau serpih trauma yang mengapung di atas pusaran batin,
suara samar dari lorong yang menelan,
mendorong, memuntahkan,
lalu menarikku kembali
seperti arwah yang lupa jalan pulang.
Di pelataran candi batin ini,
aku mendengar getar yang dulu disebut hasrat:
kini ia hanya bunyi gending rusak
yang dipetik jari-jari waktu
di atas batu-batu yang tak pernah selesai kautata.
Gending yang pernah memancing nafsu,
kini hanya menyalakan kabut luka
yang menolak mati.
Lelaplah, Madu.
Atau lenalah engkau di antara reruntuhan ingatanku.
Sebab malam ini,
aku tidak mencarimu sebagai tubuh,
melainkan sebagai mantra yang tercecer
dari upacara purba yang gagal.
Wajahmu,
yang dulu kutatap dengan gairah jejaka,
kini kembali sebagai bayangan arkais
di permukaan sendang kesadaranku yang paling keruh.
Bukan paras:
melainkan peringatan
bahwa segala yang kusentuh
membawa diriku lebih dalam
ke liang yang ingin kulupakan.
Kembenmu, jarit lusuhmu,
setagen yang longgar itu—
semua telah bergeser dari erotika
menjadi liturgi luka.
Setiap lipatan kainmu
bukan lagi undangan,
melainkan aksara purba
yang tak bisa kubaca
tanpa gemetar.
Betapa jenaka dahulu coreng-morengmu,
kini menjadi topeng dewa kecil
yang menjaga pintu ke ruang
di mana aku terperangkap
antara rindu dan penolakan.
Candi ini,
arkib batin yang kautinggalkan dalam diriku,
adalah gua tempat aku
didorong ke tepi kesadaran sendiri.
Reruntuhan yang kutata ulang setiap malam
agar trauma memiliki bentuk,
agar hasrat memiliki kubur,
agar aku dapat menyebut namamu
tanpa berdarah lagi.
Madu—
Maduku yang tidak lagi lunak dan molek
kini engkau batu berlumut
yang mengingatkan bahwa tubuh
adalah prasasti yang gampang retak.
Bahwa hasrat
adalah sungai yang menolak diam.
Bahwa cinta
adalah bayangan yang menolak
ditimpa cahaya.
Di atas ujung ceruk dadaku yang paling pilu,
kutangkap aura suci yang dulu kusebut
nafsu.
Kini ia hanyalah kunang-kunang
tak bercahaya yang hilang di antara
dua zaman:
zaman ketika aku ingin memilikimu,
dan zaman ketika aku ingin melupakanmu.
Sayap-sayap Jatayu
gemetar di sela jari waktuku,
berusaha menyibak rahasiamu
yang tidak lagi erotik
melainkan mistik.
Mantra gelap yang merasuk
bukan ke tubuh…
tetapi ke ingatan.
Betapa ingin aku menyentuhmu,
bukan dengan murka lelaki,
tetapi dengan ngeri seorang peziarah
yang tahu bahwa setiap permukaan
yang tampak indah
menyimpan sumur
yang dapat menelannya hidup-hidup.
Khajuraho,
saksikanlah aku malam ini.
Bukan lagi jejaka kolokan yang kalah oleh tajam tatap matamu,
melainkan ruh yang belajar
melihat tubuh sebagai batu,
batu sebagai ruang,
ruang sebagai luka,
luka sebagai guru.
Dan engkau, Madu—
bukan lagi kekasih,
melainkan cahaya terakhir
yang terjepit
di antara dua kelopak mimpi.
Aku tidak ingin menelanjangimu.
Aku hanya ingin
memahami mengapa setiap detakmu
masih menggema
di rongga candi batinku
yang tak pernah selesai
kujaga dari keruntuhan.
Malam ini,
di bawah hujan yang turun
seperti kabut peringatan,
aku sadar:
bahwa hasrat adalah guru gelap,
dan trauma adalah kuil
tempat aku belajar sujud
pada apa yang lebih tinggi
dari diriku sendiri.
Desember 2025”
―
(Reinkarnasi Suwung)
Khajuraho,
di tikungan malam yang menggantung seperti dupa kehilangan napas,
aku kembali menapaki jejak yang tak mau pudar.
Retakan waktu yang kau tinggal sebagai isyarat
bahwa sunyi pun dapat berubah menjadi tubuh
—dan tubuh dapat menjadi kutukan yang tak pernah pergi.
Madu,
engkau bukan lagi perempuan,
engkau serpih trauma yang mengapung di atas pusaran batin,
suara samar dari lorong yang menelan,
mendorong, memuntahkan,
lalu menarikku kembali
seperti arwah yang lupa jalan pulang.
Di pelataran candi batin ini,
aku mendengar getar yang dulu disebut hasrat:
kini ia hanya bunyi gending rusak
yang dipetik jari-jari waktu
di atas batu-batu yang tak pernah selesai kautata.
Gending yang pernah memancing nafsu,
kini hanya menyalakan kabut luka
yang menolak mati.
Lelaplah, Madu.
Atau lenalah engkau di antara reruntuhan ingatanku.
Sebab malam ini,
aku tidak mencarimu sebagai tubuh,
melainkan sebagai mantra yang tercecer
dari upacara purba yang gagal.
Wajahmu,
yang dulu kutatap dengan gairah jejaka,
kini kembali sebagai bayangan arkais
di permukaan sendang kesadaranku yang paling keruh.
Bukan paras:
melainkan peringatan
bahwa segala yang kusentuh
membawa diriku lebih dalam
ke liang yang ingin kulupakan.
Kembenmu, jarit lusuhmu,
setagen yang longgar itu—
semua telah bergeser dari erotika
menjadi liturgi luka.
Setiap lipatan kainmu
bukan lagi undangan,
melainkan aksara purba
yang tak bisa kubaca
tanpa gemetar.
Betapa jenaka dahulu coreng-morengmu,
kini menjadi topeng dewa kecil
yang menjaga pintu ke ruang
di mana aku terperangkap
antara rindu dan penolakan.
Candi ini,
arkib batin yang kautinggalkan dalam diriku,
adalah gua tempat aku
didorong ke tepi kesadaran sendiri.
Reruntuhan yang kutata ulang setiap malam
agar trauma memiliki bentuk,
agar hasrat memiliki kubur,
agar aku dapat menyebut namamu
tanpa berdarah lagi.
Madu—
Maduku yang tidak lagi lunak dan molek
kini engkau batu berlumut
yang mengingatkan bahwa tubuh
adalah prasasti yang gampang retak.
Bahwa hasrat
adalah sungai yang menolak diam.
Bahwa cinta
adalah bayangan yang menolak
ditimpa cahaya.
Di atas ujung ceruk dadaku yang paling pilu,
kutangkap aura suci yang dulu kusebut
nafsu.
Kini ia hanyalah kunang-kunang
tak bercahaya yang hilang di antara
dua zaman:
zaman ketika aku ingin memilikimu,
dan zaman ketika aku ingin melupakanmu.
Sayap-sayap Jatayu
gemetar di sela jari waktuku,
berusaha menyibak rahasiamu
yang tidak lagi erotik
melainkan mistik.
Mantra gelap yang merasuk
bukan ke tubuh…
tetapi ke ingatan.
Betapa ingin aku menyentuhmu,
bukan dengan murka lelaki,
tetapi dengan ngeri seorang peziarah
yang tahu bahwa setiap permukaan
yang tampak indah
menyimpan sumur
yang dapat menelannya hidup-hidup.
Khajuraho,
saksikanlah aku malam ini.
Bukan lagi jejaka kolokan yang kalah oleh tajam tatap matamu,
melainkan ruh yang belajar
melihat tubuh sebagai batu,
batu sebagai ruang,
ruang sebagai luka,
luka sebagai guru.
Dan engkau, Madu—
bukan lagi kekasih,
melainkan cahaya terakhir
yang terjepit
di antara dua kelopak mimpi.
Aku tidak ingin menelanjangimu.
Aku hanya ingin
memahami mengapa setiap detakmu
masih menggema
di rongga candi batinku
yang tak pernah selesai
kujaga dari keruntuhan.
Malam ini,
di bawah hujan yang turun
seperti kabut peringatan,
aku sadar:
bahwa hasrat adalah guru gelap,
dan trauma adalah kuil
tempat aku belajar sujud
pada apa yang lebih tinggi
dari diriku sendiri.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
