Ikon Quotes

Quotes tagged as "ikon" Showing 1-3 of 3
Titon Rahmawan
“CHARLIE II
(METAMORPHIC VERSION)

Ia muncul bukan dari layar,
melainkan dari sela-sela gelap
di antara kedipan mata kita—
tempat pikiran gagal memutuskan
siapa sedang menatap siapa.

Tubuh kecil itu kembali,
bukan sebagai gelandangan komikal,
melainkan sebagai pertapa abstrak
yang menertawakan seluruh peradaban
tanpa membuka bibir.

Setiap langkahnya
adalah mantra yang salah dieja,
menggoyang panggung dengan gerak paling canggung;
jatuh-bangun yang kita sebut komedi,
padahal itu adalah cara semesta
menunjukkan betapa rapuhnya kita:
para penonton yang ingin percaya
hidup adalah aliran peristiwa
yang patut dirayakan
layaknya pesta.

Ia tidak sedang berjalan.
Ia sedang menghapus ingatan
sedikit demi sedikit—perlahan-lahan
seperti seluloid yang terbakar oleh cahaya proyektor
dari dunia yang centang-perentang.

Dalam keheningan hitam-putih itu,
kitalah yang menjadi pantomim:
komik yang berbicara tanpa suara,
mengerti tanpa pemahaman,
tertawa tanpa tahu
siapa yang sedang
ditertawakan.

Charlie,
atau siapapun ia telah menjelma,
telah melampaui nama;
ia menjadi ruang kosong
yang memantulkan wajah
cermin kotor yang menunggu
kita terpeleset dusta
topeng mana yang kita kenakan?
kedunguan apa yang kita perankan?

Ia tak memanggil kita.
Ia mengintai kita.
Ia tahu betapa seriusnya
kita menjalani hidup,
betapa tragisnya kesungguhan itu,
betapa bodohnya kesedihan
yang mengira dirinya istimewa.

Tongkat kecilnya bukan properti panggung—
itu garis batas antara imajinasi
dan kenyataan
yang ingin kita sembunyikan
dan yang ingin dunia telanjangi.

Setiap putaran adalah meditasi destruktif:
sebuah zen yang retak,
sebuah pencerahan yang salah arah,
sebuah humor yang menusuk jantung
sampai kita lupa apakah kita sedang menangis atau tertawa.

Di titik ini,
tidak ada lagi komedi,
hanya ironi.
Bukan ia yang tampil untuk kita.
Kita yang tampil untuknya.
Kitalah karakter minor,
figuran tak penting
yang sedang terpampang di layar
yang terus berputar bahkan setelah bioskop tutup.

Kita menyaksikan ia menghilang,
padahal yang raib sebenarnya
adalah ilusi
tentang diri kita sendiri:
nama, peran, luka-luka yang kita pelihara,
semua runtuh dalam irama
yang tak pernah ia mainkan,
tetapi selalu kita dengar
dalam kebisuan.

Ketika layar akhirnya memudar,
kita mengira ia telah pergi—
padahal ego yang tersisa
sebagai jejak bayangan
dalam dunia yang sejak awal
menonton kita
dengan keheningan yang lebih tajam
daripada sayatan pisau.

Tirai menutup.
Namun kesadaran tinggal
menggantung di udara
seperti debu perak seluloid:
kering, dingin, tak bernama—
persis seperti apa yang kita cari
dan takutkan selama ini.

2022 - 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“CHARLIE IV
(PARODY OF THE GREAT MACHINE)

Di layar yang nyaris beku,
Charlie muncul kembali—
sebagai boneka kayu
tersesat di antara deretan server
yang mendengus
seperti kawanan sapi
menunggu disembelih.

Ia menari,
di atas platform data center.
Dalam himpitan dingin yang lebih biadab dari salju Siberia.
Langkah serupa bunyi retakan kecil—
bisikan samar,
seperti suara nadi manusia
mencoba mengingat
bahwa ia dulu pernah bernyawa.

Di sebelahnya, mesin-mesin memandang
gerak tubuh dengan mata merah yang seolah marah;
mereka tidak tertawa,
tidak menangis,
tidak peduli apakah Charlie hendak menyeberang jurang
atau sekadar mencari sisa makna
dari hidupnya.

Ia mengangkat tongkat.
Mesin menganggap itu sebagai perintah.
Seluruh kota listrik bergetar.
Lampu-lampu kejang seperti iman sekarat dan nyaris mati.
Matahari yang kehilangan alasan untuk bangun besok pagi.

Charlie terguling ke tanah,
menertawakan tubuhnya sendiri
yang rapuh,
dan untuk pertama kali
ia tampak seperti orang yang benar-benar mengerti
bahwa tragedi terbesar manusia bukanlah penderitaan—
melainkan ketika rasa sakit kita
diabaikan oleh entitas yang tidak mampu membedakan
manusia dari kucing digital
yang gagal di-render.

Dan dalam gelap itu,
ia menangis sejadi-jadinya
dalam mulut yang tetap membisu:
“Beginilah kiranya bila dunia menyerahkan martabatnya
kepada mesin yang tak bisa
merasa takut.”

Lalu ia menghilang,
seperti tab yang ditutup
tanpa sengaja.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“CHARLIE V
(THE LAST LAUGH OF THE COSMIC JESTER)

Di akhir pertunjukan,
Charlie muncul bukan sebagai manusia,
bukan sebagai gelandangan,
bukan sebagai politikus gagal,
bukan buruh algoritma—
melainkan sebagai bayangan
yang memantul pada sebuah bejana
di tengah gurun yang tidak punya sejarah.

Ia berdiri di sana,
dengan tubuh yang hampir tidak menyentuh tanah,
seperti makhluk yang lupa
apakah ia masih terikat gravitasi.

Dari kejauhan,
suara terompet perang dari masa lalu bergema:
Alexander yang menaklukkan dunia,
Caesar yang mencoba memerintah waktu,
Napoleon yang jatuh karena kesombongannya
Hitler yang mendadak gila—
tapi semuanya terdengar seperti komedi murahan
yang diputar di bioskop tanpa penonton.

Charlie tersenyum.
Ia tahu:
bahkan para penakluk terbesar pun
tidak lebih dari badut yang terlalu percaya diri
di hadapan semesta yang tak pernah berniat menjelaskan apa pun.

Ia merobek wajahnya—
bukan sebagai tindakan mutilasi,
melainkan sebagai bentuk meditasi paling radikal:
tindakan anatta,
pembubaran diri,
pembakaran ego di dalam tungku sunyi
yang menyala tanpa api.

Di balik wajahnya,
tidak ada apa-apa.
Tidak ada identitas.
Tidak ada “aku”.
Hanya ruang hampa
yang memantulkan kembali suara
lolongan serigala ketakutan manusia
dengan kejujuran yang memuakkan.

Ia tertawa.
Tawa itu bukan tawa seorang gelandangan,
bukan tawa seorang politisi,
bukan tawa pekerja pabrik—
melainkan tawa aktor sejati yang telah melampaui
semua peran yang pernah ia mainkan.

Tawa itu menggetarkan pasir,
menggoyang langit,
mengusir kesadaran palsu
yang dibangun oleh ribuan tahun peradaban.

Dan saat gema terakhirnya memudar,
Charlie berkata tanpa bibir,
tanpa suara,
tanpa bentuk:

“Tidak ada yang lucu.
Tidak ada yang ironis.
Tidak ada yang tragis.
Tidak ada yang suci.
Tidak ada yang hina.
Yang ada hanya kesadaran
sedang belajar menertawakan dirinya
agar ia tidak menjadi gila.”

Lalu dunia runtuh.
Diam.
Kosong.
Sunyi.

Dan barulah kemudian—
kita menyadari
bahwa selama ini kitalah
karakter yang ia tulis
menjadi bahan lelucon.

November 2025”
Titon Rahmawan