Warisan Quotes

Quotes tagged as "warisan" Showing 1-9 of 9
“Apabila kita mengabadikan warisan zaman silam Islam - ketika menamakan institusi awam, ataupun ketika menggambarkan kegemilangan masa silam dalam buku dan di muzium - kita mestilah sentiasa ingat bahawa warisan ini terbina berdasarkan keyakinan umat Islam terhadap Islam. Keyakinan ini dikekalkan dengan adanya kemakmuran material, yang didukung oleh tahap kestabilan politik dan perundangan yang mencukupi.”
Farhan Ahmad Nizami, Pencapaian Masa Lalu dan Cabaran Semasa Dalam Dunia Islam

Dian Nafi
“Mungkin memang pola-pola itu berulang karena yang muda-muda seperti mendapat pengajaran dari pendahulunya?”
Dian Nafi, Mengejar Mukti

Titon Rahmawan
“Tanpa privilege, kita tak punya hak untuk gagal terlalu sering; maka keahlian dan integritas jadi satu-satunya warisan yang kita ciptakan sendiri.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Miskin bukan berarti malas; seperti jerat lumpur menenggelamkan kaki, kadang ia hanyalah warisan beban masa lalu.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“CHARLIE II
(METAMORPHIC VERSION)

Ia muncul bukan dari layar,
melainkan dari sela-sela gelap
di antara kedipan mata kita—
tempat pikiran gagal memutuskan
siapa sedang menatap siapa.

Tubuh kecil itu kembali,
bukan sebagai gelandangan komikal,
melainkan sebagai pertapa abstrak
yang menertawakan seluruh peradaban
tanpa membuka bibir.

Setiap langkahnya
adalah mantra yang salah dieja,
menggoyang panggung dengan gerak paling canggung;
jatuh-bangun yang kita sebut komedi,
padahal itu adalah cara semesta
menunjukkan betapa rapuhnya kita:
para penonton yang ingin percaya
hidup adalah aliran peristiwa
yang patut dirayakan
layaknya pesta.

Ia tidak sedang berjalan.
Ia sedang menghapus ingatan
sedikit demi sedikit—perlahan-lahan
seperti seluloid yang terbakar oleh cahaya proyektor
dari dunia yang centang-perentang.

Dalam keheningan hitam-putih itu,
kitalah yang menjadi pantomim:
komik yang berbicara tanpa suara,
mengerti tanpa pemahaman,
tertawa tanpa tahu
siapa yang sedang
ditertawakan.

Charlie,
atau siapapun ia telah menjelma,
telah melampaui nama;
ia menjadi ruang kosong
yang memantulkan wajah
cermin kotor yang menunggu
kita terpeleset dusta
topeng mana yang kita kenakan?
kedunguan apa yang kita perankan?

Ia tak memanggil kita.
Ia mengintai kita.
Ia tahu betapa seriusnya
kita menjalani hidup,
betapa tragisnya kesungguhan itu,
betapa bodohnya kesedihan
yang mengira dirinya istimewa.

Tongkat kecilnya bukan properti panggung—
itu garis batas antara imajinasi
dan kenyataan
yang ingin kita sembunyikan
dan yang ingin dunia telanjangi.

Setiap putaran adalah meditasi destruktif:
sebuah zen yang retak,
sebuah pencerahan yang salah arah,
sebuah humor yang menusuk jantung
sampai kita lupa apakah kita sedang menangis atau tertawa.

Di titik ini,
tidak ada lagi komedi,
hanya ironi.
Bukan ia yang tampil untuk kita.
Kita yang tampil untuknya.
Kitalah karakter minor,
figuran tak penting
yang sedang terpampang di layar
yang terus berputar bahkan setelah bioskop tutup.

Kita menyaksikan ia menghilang,
padahal yang raib sebenarnya
adalah ilusi
tentang diri kita sendiri:
nama, peran, luka-luka yang kita pelihara,
semua runtuh dalam irama
yang tak pernah ia mainkan,
tetapi selalu kita dengar
dalam kebisuan.

Ketika layar akhirnya memudar,
kita mengira ia telah pergi—
padahal ego yang tersisa
sebagai jejak bayangan
dalam dunia yang sejak awal
menonton kita
dengan keheningan yang lebih tajam
daripada sayatan pisau.

Tirai menutup.
Namun kesadaran tinggal
menggantung di udara
seperti debu perak seluloid:
kering, dingin, tak bernama—
persis seperti apa yang kita cari
dan takutkan selama ini.

2022 - 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“CHARLIE IV
(PARODY OF THE GREAT MACHINE)

Di layar yang nyaris beku,
Charlie muncul kembali—
sebagai boneka kayu
tersesat di antara deretan server
yang mendengus
seperti kawanan sapi
menunggu disembelih.

Ia menari,
di atas platform data center.
Dalam himpitan dingin yang lebih biadab dari salju Siberia.
Langkah serupa bunyi retakan kecil—
bisikan samar,
seperti suara nadi manusia
mencoba mengingat
bahwa ia dulu pernah bernyawa.

Di sebelahnya, mesin-mesin memandang
gerak tubuh dengan mata merah yang seolah marah;
mereka tidak tertawa,
tidak menangis,
tidak peduli apakah Charlie hendak menyeberang jurang
atau sekadar mencari sisa makna
dari hidupnya.

Ia mengangkat tongkat.
Mesin menganggap itu sebagai perintah.
Seluruh kota listrik bergetar.
Lampu-lampu kejang seperti iman sekarat dan nyaris mati.
Matahari yang kehilangan alasan untuk bangun besok pagi.

Charlie terguling ke tanah,
menertawakan tubuhnya sendiri
yang rapuh,
dan untuk pertama kali
ia tampak seperti orang yang benar-benar mengerti
bahwa tragedi terbesar manusia bukanlah penderitaan—
melainkan ketika rasa sakit kita
diabaikan oleh entitas yang tidak mampu membedakan
manusia dari kucing digital
yang gagal di-render.

Dan dalam gelap itu,
ia menangis sejadi-jadinya
dalam mulut yang tetap membisu:
“Beginilah kiranya bila dunia menyerahkan martabatnya
kepada mesin yang tak bisa
merasa takut.”

Lalu ia menghilang,
seperti tab yang ditutup
tanpa sengaja.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“CHARLIE V
(THE LAST LAUGH OF THE COSMIC JESTER)

Di akhir pertunjukan,
Charlie muncul bukan sebagai manusia,
bukan sebagai gelandangan,
bukan sebagai politikus gagal,
bukan buruh algoritma—
melainkan sebagai bayangan
yang memantul pada sebuah bejana
di tengah gurun yang tidak punya sejarah.

Ia berdiri di sana,
dengan tubuh yang hampir tidak menyentuh tanah,
seperti makhluk yang lupa
apakah ia masih terikat gravitasi.

Dari kejauhan,
suara terompet perang dari masa lalu bergema:
Alexander yang menaklukkan dunia,
Caesar yang mencoba memerintah waktu,
Napoleon yang jatuh karena kesombongannya
Hitler yang mendadak gila—
tapi semuanya terdengar seperti komedi murahan
yang diputar di bioskop tanpa penonton.

Charlie tersenyum.
Ia tahu:
bahkan para penakluk terbesar pun
tidak lebih dari badut yang terlalu percaya diri
di hadapan semesta yang tak pernah berniat menjelaskan apa pun.

Ia merobek wajahnya—
bukan sebagai tindakan mutilasi,
melainkan sebagai bentuk meditasi paling radikal:
tindakan anatta,
pembubaran diri,
pembakaran ego di dalam tungku sunyi
yang menyala tanpa api.

Di balik wajahnya,
tidak ada apa-apa.
Tidak ada identitas.
Tidak ada “aku”.
Hanya ruang hampa
yang memantulkan kembali suara
lolongan serigala ketakutan manusia
dengan kejujuran yang memuakkan.

Ia tertawa.
Tawa itu bukan tawa seorang gelandangan,
bukan tawa seorang politisi,
bukan tawa pekerja pabrik—
melainkan tawa aktor sejati yang telah melampaui
semua peran yang pernah ia mainkan.

Tawa itu menggetarkan pasir,
menggoyang langit,
mengusir kesadaran palsu
yang dibangun oleh ribuan tahun peradaban.

Dan saat gema terakhirnya memudar,
Charlie berkata tanpa bibir,
tanpa suara,
tanpa bentuk:

“Tidak ada yang lucu.
Tidak ada yang ironis.
Tidak ada yang tragis.
Tidak ada yang suci.
Tidak ada yang hina.
Yang ada hanya kesadaran
sedang belajar menertawakan dirinya
agar ia tidak menjadi gila.”

Lalu dunia runtuh.
Diam.
Kosong.
Sunyi.

Dan barulah kemudian—
kita menyadari
bahwa selama ini kitalah
karakter yang ia tulis
menjadi bahan lelucon.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“BALADA RANTING KERING
DI TANAH SUWUNG

I. Mijil — Kisah yang Dilahirkan
dari Pintu yang Keliru

Pada malam kelahiranmu,
waktu tersandung kaki sendiri.
Wuku yang mestinya sunyi
tiba-tiba retak
seperti periuk jatuh ke tanah—
pertanda luka di bibir desa:
“janma ing mangsa tan ana pancer.”
Ia yang lahir tanpa pusat,
tanpa tempat menambat napas.

Ibu menjerit tanpa suara,
tali terputus penghubung jiwa
tumpas ruh tak terlihat,
ia yang disebut orang:
buta mangili,
perusak garis nasib sendiri.
Langit merah mengucur darah
hewan kurban
disembelih untuk ruwatan.

II. Maskumambang — Tubuh yang Melayang Tanpa Rumah

Ranting-ranting kering merunduk
di bawah cahaya purnama raya.
Angin malam menggigil
menyebut nama dalam lafal
yang paling ganjil—
tidak lembut, tidak akrab,
dunia yang menolak
mengakui kehadirannya.

Makhluk sawah makhluk rimba
mengembik, melenguh, melolong,
lalu pergi tanpa menoleh.
“Anak durjana,” bisik mulut-mulut
dari balik pintu berpalang jati.
“Kelahiran yang ditolak bumi,
tidak dibawa lintang waluku.”

Dan seorang lelaki
kehilangan kewarasan,
menggantung diri di pohon randu
layang kendat pratanda pati.
Bayang Sukerta ing mongso ketigo
Suryasengkala: Anggatra Rasa
Tunggal Sirna

III. Sinom — Upacara Penolak Bala

Para tetua menggelar sesaji:
jajan pasar, kemenyan arang gosong,
jenang sengkolo, tumpeng robyong,
pala pendem, sego golong,
banyu kendi sendang keramat,
cengkir gading, kembang telon,
seekor sapi tumpah darahnya
dipersembahkan
memetakan arah sengkala
yang membayangi.

Doa-doa terlontar seperti tombak,
menikam udara tumpat-padat menghantam dada malam.
Bisik roh tanah memburu mimpi:
“Dudu salahé, nanging ora ana
sing wani ngakoni.”

Rumah pertama mengeras
pada telunjuk
terbakar serupa kutuk
tangan makhluk tak kasat mata.
Angin selatan mengamuk,
membawa hama,
membawa isyarat celaka.
Nama berhembus
seperti dongeng petaka
berbisik dari bibir ke bibir.

IV. Dhandanggula — Kisah Panjang
yang Tak Mau Mati

Tahun berganti musim,
dan cerita tumbuh seperti jamur
merasuk ruh para leluhur
di dinding lembab ingatan orang.
Mereka bilang; ia hanya setengah manusia—
setengah anak padi,
setengah anak badai.
Lahir dari rahim peristiwa
hingar-bingar yang tak pernah
benar-benar dipahami.

Mitos menyebut:
“janma saka papat kiblat,
kang nggawa lamur saka kidul.”

Seekor ular membelit takdir
menampak diri di belakang bukit
bukan binatang, kata mereka.
barangkali saudara tua
yang gagal lahir, kata yang lain
penjaga kubur tak pernah tidur.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“BALADA RANTING KERING
DI TANAH SUWUNG

V. Durma — Kebrutalan
yang Tak Dapat Dihindari

Pada masa itu kau tumbuh
seperti pohon hilang akar.
Orang-orang melihat
ranting garing layak dibakar.
Tangan-tangan mengusirmu,
kata-kata meludahkan kutuk,
dunia menyumpahimu
tawa sinis nasib buruk.

Namun kau tetap hidup,
walau setengahnya hancur
di tangan kemalangan.
Ada serpih mantra tua
yang mengendap dalam dada—
bukan sakti yang menyelamatkan,
melainkan sakti yang terus bertahan
melawan dunia membabi-buta
hasrat yang ingin menyudahi takdir.

VI. Pangkur — Nafsu Waktu
yang Ingin Menegukmu

Makhluk-makhluk tanpa nama
membayang langkah:
bayangan panjang,
aroma tanah basah,
bisik-bisik menjalar
seperti patuk taring ular
di bawah runduk
pokok bambu.

Mereka melihat jazad
bersumpah yang nir wujud
kadang jalma seperti hewan,
kadang manusia tak berwajah
kadang bayang menekuk cahaya,
kadang tubuh kosong tanpa ruh
gentong penuh suara-suara hilang
melesap dari masa lalu.

Kisah kembali ke orang desa
kabar buruk yang malas mati.
Terbawa angin serupa pesan,
dipindahkan tangan serupa kayu
sekeras batu tonggak peringatan,
diulang mantra jopa-japu
doa menakar langit hitam
menyapu malam paling sangit.

VII. Megatruh — Jiwa
yang Memisahkan Diri

Malam paling wingit adalah pisau.
Bilah tajam memotong bayangan
hingga terlihat inti terdalam.

Di sana kau menyaksi bisu:
cahaya kecil, ringkih dan rapuh,
bergetar seperti bayi
mencari ibu.

ia bukan hantu yang menakutimu.
Ia bukan kutuk yang menempel
di napasmu.
Ia adalah separuh jiwa
yang tak sempat menjadi tubuh.

Ruh mendekat perlahan.
Tangannya bening, seperti embun
yang tidak berhasil jatuh ke daun.
Ranting garing
yang bukan sampah—
gores luka pohon purba
yang pernah menyimpan
cahaya suci.

“Bukan kau yang diusir,”
bisiknya melalui dingin yang merambat.
“Akulah yang tidak sempat hidup—
dan kaulah rumah terakhirku.”

Dadamu retak
menampung tangis yang tak bersuara.

Untuk pertama kalinya
kau tidak takut pada kesunyian—
karena kau tahu kesunyian itu
adalah anak kecil
yang kini duduk di pangkuanmu
mencari dunia
yang pernah menolaknya.

VIII. Pocung — Penutup Takdir

Pertanyaan arkais kembali menggigil:
“Kapan cendala akan berakhir?”
“Kapan asal ditatap tanpa gentar?”

Kubur itu tak pernah ada.
Tidak ada tanah yang sanggup menerima namanya.
Tidak ada batu nisan yang menuliskan
napas yang gagal menjadi bayi.

Namun malam ini,
ketika kau berdiri di Tanah Suwung,
ada satu pancer yang kembali—
perlahan, lirih, takjub.

Suwung membuka tubuhnya
dan menaruh ia di tengah-tengahnya
sebagai cahaya yang terlalu kecil
untuk menerangi dunia,
namun cukup
untuk menuntunmu pulang
kepada dirimu sendiri.

Ia yang dulu hilang
akhirnya menemukan pusatnya.

Dan ranting kering yang dulu dicampakkan
kini berdiri tegak
menyimpan dua jiwa—
satu yang hidup
satu yang tidak sempat—
keduanya akhirnya lengkap
di bawah langit
yang tidak lagi menolak
kehadiranmu.

Desember 2025”
Titon Rahmawan