Eksploitasi Quotes

Quotes tagged as "eksploitasi" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“Marilyn III
(The Last Room, The Last Mirror)

Di ruang rias yang tak punya jendela,
wajahmu terbelah menjadi tiga:
yang dipuja, yang disembunyikan,
dan yang dibungkam.
Cermin retak memantulkan kelopak krisan di matamu
seperti orbit bintang mati,
terlalu lelah untuk bersinar lagi.

Kau pernah disebut dewi,
hasrat secuil debu digerus oleh mesin industri yang kesemuanya berkelamin laki-laki.
Tubuh molek yang dijahit ulang oleh kilatan kamera,
direkayasa menjadi hieroglif kecantikan namun menolak pasrah:
"Aku tidak keberatan hidup di dunia pria, selama aku bisa menjadi wanita di dalamnya."

Di bawah sorot lampu studio,
kau berdiri seperti ritual pemanggilan arwah—
senyum yang dipaksa tumbuh di tengah gurun,
jiwa yang tak pernah mengenal hujan dan keteduhan.

Ada catatan samar di sayap malam:
“Marilyn hanyalah ide. Raga ilusi yang dipakai untuk menyihir dunia.”
Bayangan yang merambat di atas panggung
seperti binatang terluka
mencari pintu keluar
yang tak pernah ada.

Kau belajar menertawakan diri sendiri
sebelum dunia lebih dulu menertawakanmu.
Begitulah hukum dunia pertunjukan:
Ia yang hidup harus menjadi ilusi,
dan ilusi harus belajar menanggung kematian.

Dalam seprai satin putih,
kau menghilang tanpa kabar—
seperti lilin yang menolak terbakar
karena api sudah lama bosan menghanguskan mimpimu.

Namun dunia masih memanggil namamu
dengan nada seperti doa yang kehilangan Tuhan.
Mereka menyalakan replika lilin
di museum Tussauds.
dan menyangka itu cukup
untuk menebus semua luka yang mereka tonton tanpa berkedip.

Oh Marilyn—
bukan tragedi yang membuatmu abadi,
melainkan cara dunia menelanmu hidup-hidup
dan melihatmu tetap tersenyum
seperti dalam iklan pasta gigi.

2022”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“MARILYN V
(AUTOPSY: DISSECTING REALITY)

Tidak ada bintang.
Tidak ada ikon.
Tidak ada nama yang perlu disebutkan.
Yang ada hanya tubuh perempuan
yang diseret ke atas meja rias
seperti bangkai hewan percobaan
yang tak bisa menolak.

Panas lampu sorot menampar kulitnya
bukan untuk memuja,
tapi untuk mencari bagian mana
yang masih bisa dipasarkan
di media massa.

Rambutnya disisir seperti jerami,
matanya dipaksa membuka,
Bibir merah yang tak lagi basah
kerongkongan kering
karena suara bukanlah miliknya.

Sudah lama
industri tidak mencintainya—
industri hanya lapar,
dan wajahnya adalah komoditas murah
untuk mengenyangkan mesin hiburan
yang tidak pernah berhenti bermasturbasi.

Tidak ada mitos.
Tidak ada tragedi.
Yang ada hanya operasi kosmetik
yang diulang sampai wajahnya menyerupai
topeng cosplay yang dicetak massal.

Setiap senyum dipasang
seperti plester luka,
bukan untuk menutup rasa sakit
tapi untuk menyamakan dirinya
dengan ratusan wajah lain
yang siap didaur ulang.

Jika ia menangis,
kamera akan merekam.
Jika ia tertawa,
sutradara akan menyuruhnya mengulang adegan.
Jika ia pingsan,
tata rias akan memperbaiki
lipstick dan foundationnya.

Kesadaran mengabur
jiwa mengevaporasi,
yang tersisa cuma daging mekanis
yang hanya tahu cara berjalan
ke tempat syuting berikutnya.

Dunia memaknainya
entah sebagai apa:
dewi, rembulan atau
sekadar boneka.
Padahal ia hanyalah produk
yang tidak pernah diminta persetujuannya.

Ketika akhirnya ia rebah,
dan tubuhnya berhenti meniru kehidupan,
tidak ada keheningan sakral,
tidak ada kesedihan global—
hanya staf hotel yang mengetuk pintu,
mengeluh soal waktu check-out.

Tubuh itu dibawa pergi
seperti koper rusak:
diam, berat, dan tak lagi berdetak.

Esok harinya,
studio mempekerjakan wajah baru.
Lebih muda.
Lebih murah.
Lebih pasrah.

Tidak ada warisan.
Tidak ada keabadian.
Tidak ada pelajaran moral.

Yang ada hanya dunia
yang tak henti mengunyah tubuh
dan wajah perempuan
dan menyebut ampasnya
sebagai “legenda”.

November 2025”
Titon Rahmawan