Absurditas Quotes
Quotes tagged as "absurditas"
Showing 1-7 of 7
“Kematangan nalar adalah pusara terakhir bagi segala kegaiban dan absurditas. Di sanalah kita membunuh ilusi, dan di sanalah pula kita membangun kemanusiaan. Peradaban yang utuh bukan dibangun atas dasar iman yang absolut, melainkan atas dasar nalar yang terbuka. Ia tidak membutuhkan dominasi, tetapi partisipasi. Ia tidak menindas perbedaan, tetapi merayakannya dalam harmoni.”
― Enigmakrostik
― Enigmakrostik
“Sang Penjudi
Aku membaca detak jantungmu
di balik pikiran yang memburu
Galau menunggu pertempuran
yang tahu akan berakhir tragis;
Sepasang tanduk banteng melawan cakar beruang bengis.
Nasib kau pertaruhkan di atas layar simulakra,
Menerka angka-angka mabuk dengan tetesan air mata
Memilah sinyal palsu dari api yang nyata
Semata-mata hanya demi harapan belaka.
Adakah sejumput doa dalam lemparan dadumu itu?
Angka yang kau tafsir dari mimpi di balik bayang ilusi:
Bisa seekor ular cobra dalam segelas coca-cola.
Lalu kemana perginya rembulan di tengah keheningan itu?
Apakah ia terlipat rapi dalam dompetmu?
Wangi selembar 'cepek' yang masih baru.
Mengharap yang tak pernah ada seperti asap rokok mengepul di udara.
Siapa tertawa pada nasib tak berketentuan?
Ibarat roda motor berjalan tanpa tujuan.
Terpikir masih seberapa besar peruntungan menghampirimu
Sepuluh seratus seribu, lalu...
Terbayang uang berjuta-juta tertawa terbahak menatap ke arahmu.
Mengira besok akan terbeli sebuah mobil baru,
Tinggal pilih model yang mana lagi?
Body sensual dan bibir sexy.
Kehangatan yang kau impikan
di tengah malam yang dingin
jelang pukul empat dini hari.
Dan kau masih terjaga,
saat kemudian tersadar
telah kehilangan segalanya.
Oktober 2025”
―
Aku membaca detak jantungmu
di balik pikiran yang memburu
Galau menunggu pertempuran
yang tahu akan berakhir tragis;
Sepasang tanduk banteng melawan cakar beruang bengis.
Nasib kau pertaruhkan di atas layar simulakra,
Menerka angka-angka mabuk dengan tetesan air mata
Memilah sinyal palsu dari api yang nyata
Semata-mata hanya demi harapan belaka.
Adakah sejumput doa dalam lemparan dadumu itu?
Angka yang kau tafsir dari mimpi di balik bayang ilusi:
Bisa seekor ular cobra dalam segelas coca-cola.
Lalu kemana perginya rembulan di tengah keheningan itu?
Apakah ia terlipat rapi dalam dompetmu?
Wangi selembar 'cepek' yang masih baru.
Mengharap yang tak pernah ada seperti asap rokok mengepul di udara.
Siapa tertawa pada nasib tak berketentuan?
Ibarat roda motor berjalan tanpa tujuan.
Terpikir masih seberapa besar peruntungan menghampirimu
Sepuluh seratus seribu, lalu...
Terbayang uang berjuta-juta tertawa terbahak menatap ke arahmu.
Mengira besok akan terbeli sebuah mobil baru,
Tinggal pilih model yang mana lagi?
Body sensual dan bibir sexy.
Kehangatan yang kau impikan
di tengah malam yang dingin
jelang pukul empat dini hari.
Dan kau masih terjaga,
saat kemudian tersadar
telah kehilangan segalanya.
Oktober 2025”
―
“Di Bawah Matahari yang Menatap Balik
Di bawah matahari yang meleleh seperti pupil dewa yang kelelahan,
aku melihat bayanganku sendiri berlari sebelum aku sempat berpikir untuk bereaksi.
Barangkali ini bukan dunia,
barangkali ini adalah ingatan purba
yang lupa pada tubuhnya.
Seekor jam mencair di pundakku,
menggelincir seperti sisa waktu yang tidak mau menjelaskan dirinya.
Ia berbisik,
bahwa keabadian hanyalah kegagalan ego dalam memahami detik
yang perlahan hancur.
Aku tertawa.
Tawa itu memecah wajahku menjadi tiga:
yang percaya, yang takut, dan yang tidak peduli lagi pada logika.
Ketiganya saling mengancam untuk lahir,
sementara aku — atau apa pun yang tersisa dariku —
menyaksikan kelahiranku sendiri dari balik kabut.
Jangan cari kebenaran di sini.
Di tanah ini, kebenaran telah diseret oleh cahaya yang lumpuh,
diseret ke dalam lubang di mana suara-suara masa lalu dibungkam
berubah menjadi serangga kanibal yang memakan tubuhnya sendiri.
Ada saat di mana aku hampir mengerti.
Saat di mana absurditas itu menamparku seperti kilat:
— semua upaya memahami diri adalah upaya membatalkan kelahiran.
— ego adalah ranting pohon yang terus tumbuh bahkan ketika kita sudah membiarkannya mati.
— pencerahan tidak datang dari kejernihan,
melainkan dari ketidakpahaman yang dibiarkan membusuk sampai berlumut
dan tiba-tiba menyala akibat radiasi.
Kini aku tahu,
matahari itu bukan sumber cahaya.
Ia adalah luka yang didekap semesta
sampai berubah menjadi lubang hitam di mana aku bisa pulang.
Dan ketika akhirnya aku masuk
ke dalamnya,
aku tidak merasa utuh—
aku merasa hilang…
tapi justru dari kehampaan itu,
aku dilahirkan lagi
oleh kegelapan yang telanjur letih menampung raga dan jiwaku.
November 2025”
―
Di bawah matahari yang meleleh seperti pupil dewa yang kelelahan,
aku melihat bayanganku sendiri berlari sebelum aku sempat berpikir untuk bereaksi.
Barangkali ini bukan dunia,
barangkali ini adalah ingatan purba
yang lupa pada tubuhnya.
Seekor jam mencair di pundakku,
menggelincir seperti sisa waktu yang tidak mau menjelaskan dirinya.
Ia berbisik,
bahwa keabadian hanyalah kegagalan ego dalam memahami detik
yang perlahan hancur.
Aku tertawa.
Tawa itu memecah wajahku menjadi tiga:
yang percaya, yang takut, dan yang tidak peduli lagi pada logika.
Ketiganya saling mengancam untuk lahir,
sementara aku — atau apa pun yang tersisa dariku —
menyaksikan kelahiranku sendiri dari balik kabut.
Jangan cari kebenaran di sini.
Di tanah ini, kebenaran telah diseret oleh cahaya yang lumpuh,
diseret ke dalam lubang di mana suara-suara masa lalu dibungkam
berubah menjadi serangga kanibal yang memakan tubuhnya sendiri.
Ada saat di mana aku hampir mengerti.
Saat di mana absurditas itu menamparku seperti kilat:
— semua upaya memahami diri adalah upaya membatalkan kelahiran.
— ego adalah ranting pohon yang terus tumbuh bahkan ketika kita sudah membiarkannya mati.
— pencerahan tidak datang dari kejernihan,
melainkan dari ketidakpahaman yang dibiarkan membusuk sampai berlumut
dan tiba-tiba menyala akibat radiasi.
Kini aku tahu,
matahari itu bukan sumber cahaya.
Ia adalah luka yang didekap semesta
sampai berubah menjadi lubang hitam di mana aku bisa pulang.
Dan ketika akhirnya aku masuk
ke dalamnya,
aku tidak merasa utuh—
aku merasa hilang…
tapi justru dari kehampaan itu,
aku dilahirkan lagi
oleh kegelapan yang telanjur letih menampung raga dan jiwaku.
November 2025”
―
“Di Ujung Kanvas, Para Malaikat Jatuh seperti Cermin Retak
Pada hari ketika langit meniru sapuan kuas Dali,
aku melihat tiga angsa menari di telaga yang tidak pernah ada.
Tapi bayangan mereka menjelma jadi sekawanan gajah—
yang memikul menara-menara mimpi
yang kaki-kakinya memanjang seperti doa yang tak sampai.
Di sana, waktu tidak berjalan.
Ia tergantung seperti jam yang mencair,
mengalir dari dinding kesadaranku
menuju lubang kelam
tempat malaikat dan iblis berdesakan
mempertengkarkan siapa yang lebih dahulu menciptakan cahaya.
Serafim mencabut bulunya sendiri
dan bulu itu berubah menjadi ular
yang menyebut dirinya dengan seribu nama:
Ashmedai, Azazel, Ashtaroth—
nama-nama yang dahulu kupelajari dengan rasa takut,
namun kini bayangan itu datang kepadaku
seperti bisikan seorang kawan lama yang ingin dipanggil pulang.
Aku bertanya padanya:
“Apakah kita sedang bermimpi,
atau kita hanyalah mimpi yang sedang diingatkan kembali kepada dirinya sendiri?”
Bayanganku menjawab
dengan suara yang bukan suaraku:
“Di sinilah eros dan tanathos menari.
Di sinilah kelahiran selalu meminjam wajah kematian.”
Dalam jeda itu,
seekor harimau melompat keluar dari rahim buah delima
yang meletus seperti planet kecil penuh kutukan.
Dari balik taringnya,
aku melihat wajahku sendiri—
wajah yang telah lama ditinggalkan oleh logika.
Dan ketika seekor badak berkaki laba-laba
melintas di atas kepalaku,
aku menyadari bahwa tuhan mungkin sedang tertidur,
dan iblis sedang melukis-nya kembali
dengan warna-warna yang terlalu jujur untuk kita mengerti.
Malaikat-malaikat yang jatuh itu
menabrak permukaan telaga,
menjadi riak yang memanggil masa laluku keluar dari persembunyian.
Aku mencoba menyentuhnya,
namun jari-jari tangan ini berlubang
seperti relik yang kehilangan alasan untuk diselamatkan.
“Apa yang kau cari?”
tanya seekor gajah yang muncul di tengah mimpi
dengan mata penuh kesedihan purba.
Aku tidak menjawab.
Sebab seluruh jawabanku
terbakar dalam pusat matahari
yang ternyata bukan matahari,
melainkan luka yang sedang berevolusi.
Dan ketika akhirnya cahaya itu meledak,
aku melihat diriku sendiri
—telanjang, kehilangan nama—
dilahirkan dari pertempuran yang tak pernah kuceritakan kepada siapa pun.
Aku bukan lagi penyair.
Aku bukan lagi kilasan mimpi.
Aku hanyalah kesadaran yang menetas
dari absurditas
yang membunuh egoku berulang kali
agar aku bisa melihat dengan mata yang tidak lagi meminta
untuk dimengerti.
November 2025”
―
Pada hari ketika langit meniru sapuan kuas Dali,
aku melihat tiga angsa menari di telaga yang tidak pernah ada.
Tapi bayangan mereka menjelma jadi sekawanan gajah—
yang memikul menara-menara mimpi
yang kaki-kakinya memanjang seperti doa yang tak sampai.
Di sana, waktu tidak berjalan.
Ia tergantung seperti jam yang mencair,
mengalir dari dinding kesadaranku
menuju lubang kelam
tempat malaikat dan iblis berdesakan
mempertengkarkan siapa yang lebih dahulu menciptakan cahaya.
Serafim mencabut bulunya sendiri
dan bulu itu berubah menjadi ular
yang menyebut dirinya dengan seribu nama:
Ashmedai, Azazel, Ashtaroth—
nama-nama yang dahulu kupelajari dengan rasa takut,
namun kini bayangan itu datang kepadaku
seperti bisikan seorang kawan lama yang ingin dipanggil pulang.
Aku bertanya padanya:
“Apakah kita sedang bermimpi,
atau kita hanyalah mimpi yang sedang diingatkan kembali kepada dirinya sendiri?”
Bayanganku menjawab
dengan suara yang bukan suaraku:
“Di sinilah eros dan tanathos menari.
Di sinilah kelahiran selalu meminjam wajah kematian.”
Dalam jeda itu,
seekor harimau melompat keluar dari rahim buah delima
yang meletus seperti planet kecil penuh kutukan.
Dari balik taringnya,
aku melihat wajahku sendiri—
wajah yang telah lama ditinggalkan oleh logika.
Dan ketika seekor badak berkaki laba-laba
melintas di atas kepalaku,
aku menyadari bahwa tuhan mungkin sedang tertidur,
dan iblis sedang melukis-nya kembali
dengan warna-warna yang terlalu jujur untuk kita mengerti.
Malaikat-malaikat yang jatuh itu
menabrak permukaan telaga,
menjadi riak yang memanggil masa laluku keluar dari persembunyian.
Aku mencoba menyentuhnya,
namun jari-jari tangan ini berlubang
seperti relik yang kehilangan alasan untuk diselamatkan.
“Apa yang kau cari?”
tanya seekor gajah yang muncul di tengah mimpi
dengan mata penuh kesedihan purba.
Aku tidak menjawab.
Sebab seluruh jawabanku
terbakar dalam pusat matahari
yang ternyata bukan matahari,
melainkan luka yang sedang berevolusi.
Dan ketika akhirnya cahaya itu meledak,
aku melihat diriku sendiri
—telanjang, kehilangan nama—
dilahirkan dari pertempuran yang tak pernah kuceritakan kepada siapa pun.
Aku bukan lagi penyair.
Aku bukan lagi kilasan mimpi.
Aku hanyalah kesadaran yang menetas
dari absurditas
yang membunuh egoku berulang kali
agar aku bisa melihat dengan mata yang tidak lagi meminta
untuk dimengerti.
November 2025”
―
“TARIAN TIGA ANGSA DAN IHWAL MIMPI (RE-IMAGINED SURREAL PSYCHO-MYSTICAL)
/1/ Swans Reflecting Elephants
Langit patah di hadapanku—
retakannya melingkar seperti iris mata kosmik
yang memerhatikan segala sesuatu
tanpa pernah memutuskan siapa yang benar.
Di telaga yang terbuat dari ingatan
tiga angsa menari
dengan sayap selembut doa yang belum sempat dikabulkan.
Namun di bayangan air
mereka berubah menjadi gajah
yang memikul menara-menara waktu
dengan kaki panjang seperti renungan
yang tak pernah selesai.
Di balik lengkung cahaya itu,
para malaikat dan iblis menunduk,
menahan napas sambil saling menuding
siapa yang pertama kali melukis cahaya
di atas kanvas semesta.
Nama-nama mereka menetes
dari pinggir kesadaranku—
Azazel, Ashmedai, Ashtaroth—
nama yang dulu kutakuti,
kini terasa seperti panggilan dari rumah yang melahirkanku dari api.
Aku mencoba menyentuh permukaan air,
namun telaga itu bergeming
dan memantulkan wajahku
dengan bentuk yang tak lagi kukenal.
Ketika jam di tanganku mencair
menjadi sungai kecil yang mengalir ke arah tak tentu,
aku tahu:
logika telah mati malam ini,
dan absurditas adalah satu-satunya cahaya yang tersisa.
/2/ Dream Caused by the Flight of a Bee around a Pomegranate
Sebelum aku terbangun,
ada suara dengung yang menusuk seperti wahyu,
lahir dari buah delima
yang pecah menjadi orbit merah di balik kelopak mataku.
Dari dalam buah itu,
seekor harimau melompat
seperti ketakutan masa kecil
yang lupa aku kubur.
Lalu seekor gajah berkaki laba-laba
merayap di langit
dengan gerak lambat
yang menciptakan teror
lebih halus dari doa.
Tubuhmu—
sepi dan telanjang seperti nubuat tentang sang penyelamat—
mendorongku ke tepi kesadaran yang licin.
Aku melihat cermin yang menolak memantulkan diriku,
melihat ikan hiu yang membuka mulutnya
untuk melahirkan sepasang kekhawatiran,
melihat seekor ular
yang menyebut dirinya dengan nama yang tak ingin kuingat
namun terus memaksakan diri disebut.
Di bawah semua itu,
aku mendengar suara dalam diriku berbisik:
“Kesadaran tidak datang dari keheningan,
tetapi dari ketakutan
yang menolak kau mengerti.”
Dan aku tahu,
di titik itu eros dan tanathos
sedang menertawakanku
tanpa menawarkan penjelasan apa pun.
/3/ The Great Masturbator
Ketika aku memasuki tubuh mimpi yang terakhir,
aku menemukan diriku
di antara reruntuhan egoku sendiri.
Ada telur yang retak,
ada cangkang yang menyerupai rahim,
dan dari dalamnya keluar belatung-belatung bercahaya
yang memakan sisa-sisa masa laluku
dengan kelaparan yang nyaris asketis.
Seekor uir-uir memunguti mimpi yang patah
dan menyimpannya di jantungku
seperti pendoa yang menyembunyikan dosa muridnya.
Aku mencoba menghalaunya
namun tangan dan kakiku
seolah terbuat dari kaca yang teriris,
jatuh satu per satu
ke dalam sumur yang tak memiliki dasar.
Aku melihat diriku sendiri
berdiri di tepi kanvas,
telanjang dan kehilangan nama.
Di belakangku,
seekor kuda kejantanan
meringkik dengan suara yang memanggil dewa-dewa purba,
sementara di depanku,
cahaya retak seperti jemaat
yang kehilangan nabinya.
“Apakah ini kebangkitan?”
tanyaku.
Namun yang menjawab
bukan malaikat,
bukan iblis,
melainkan kesadaran
yang lahir dari kehancuranku sendiri:
Aku bukan lagi penyair.
Aku bukan lagi tubuh yang bermimpi.
Aku adalah luka yang menemukan bahasanya sendiri.
Dan dari absurditas inilah,
aku menetas kembali.
November 2025”
―
/1/ Swans Reflecting Elephants
Langit patah di hadapanku—
retakannya melingkar seperti iris mata kosmik
yang memerhatikan segala sesuatu
tanpa pernah memutuskan siapa yang benar.
Di telaga yang terbuat dari ingatan
tiga angsa menari
dengan sayap selembut doa yang belum sempat dikabulkan.
Namun di bayangan air
mereka berubah menjadi gajah
yang memikul menara-menara waktu
dengan kaki panjang seperti renungan
yang tak pernah selesai.
Di balik lengkung cahaya itu,
para malaikat dan iblis menunduk,
menahan napas sambil saling menuding
siapa yang pertama kali melukis cahaya
di atas kanvas semesta.
Nama-nama mereka menetes
dari pinggir kesadaranku—
Azazel, Ashmedai, Ashtaroth—
nama yang dulu kutakuti,
kini terasa seperti panggilan dari rumah yang melahirkanku dari api.
Aku mencoba menyentuh permukaan air,
namun telaga itu bergeming
dan memantulkan wajahku
dengan bentuk yang tak lagi kukenal.
Ketika jam di tanganku mencair
menjadi sungai kecil yang mengalir ke arah tak tentu,
aku tahu:
logika telah mati malam ini,
dan absurditas adalah satu-satunya cahaya yang tersisa.
/2/ Dream Caused by the Flight of a Bee around a Pomegranate
Sebelum aku terbangun,
ada suara dengung yang menusuk seperti wahyu,
lahir dari buah delima
yang pecah menjadi orbit merah di balik kelopak mataku.
Dari dalam buah itu,
seekor harimau melompat
seperti ketakutan masa kecil
yang lupa aku kubur.
Lalu seekor gajah berkaki laba-laba
merayap di langit
dengan gerak lambat
yang menciptakan teror
lebih halus dari doa.
Tubuhmu—
sepi dan telanjang seperti nubuat tentang sang penyelamat—
mendorongku ke tepi kesadaran yang licin.
Aku melihat cermin yang menolak memantulkan diriku,
melihat ikan hiu yang membuka mulutnya
untuk melahirkan sepasang kekhawatiran,
melihat seekor ular
yang menyebut dirinya dengan nama yang tak ingin kuingat
namun terus memaksakan diri disebut.
Di bawah semua itu,
aku mendengar suara dalam diriku berbisik:
“Kesadaran tidak datang dari keheningan,
tetapi dari ketakutan
yang menolak kau mengerti.”
Dan aku tahu,
di titik itu eros dan tanathos
sedang menertawakanku
tanpa menawarkan penjelasan apa pun.
/3/ The Great Masturbator
Ketika aku memasuki tubuh mimpi yang terakhir,
aku menemukan diriku
di antara reruntuhan egoku sendiri.
Ada telur yang retak,
ada cangkang yang menyerupai rahim,
dan dari dalamnya keluar belatung-belatung bercahaya
yang memakan sisa-sisa masa laluku
dengan kelaparan yang nyaris asketis.
Seekor uir-uir memunguti mimpi yang patah
dan menyimpannya di jantungku
seperti pendoa yang menyembunyikan dosa muridnya.
Aku mencoba menghalaunya
namun tangan dan kakiku
seolah terbuat dari kaca yang teriris,
jatuh satu per satu
ke dalam sumur yang tak memiliki dasar.
Aku melihat diriku sendiri
berdiri di tepi kanvas,
telanjang dan kehilangan nama.
Di belakangku,
seekor kuda kejantanan
meringkik dengan suara yang memanggil dewa-dewa purba,
sementara di depanku,
cahaya retak seperti jemaat
yang kehilangan nabinya.
“Apakah ini kebangkitan?”
tanyaku.
Namun yang menjawab
bukan malaikat,
bukan iblis,
melainkan kesadaran
yang lahir dari kehancuranku sendiri:
Aku bukan lagi penyair.
Aku bukan lagi tubuh yang bermimpi.
Aku adalah luka yang menemukan bahasanya sendiri.
Dan dari absurditas inilah,
aku menetas kembali.
November 2025”
―
“Sketsa Cinta dari Sebuah Botol Kosong dan Sepotong Sosis
(Digital Dark Cosmology)
Di ruang konsultasi yang berbau kreolin, ozon dan arsip tubuh,
aku menemukan Freud duduk seperti batu bisu
yang tiba-tiba belajar bernafas lewat sinyal sekarat
cahaya patah mesin EKG yang kedap-kedip.
Katanya ini panggung opera.
Tapi yang kulihat hanyalah labirin piksel berebut makna,
suara manusia dipaksa menjadi protokol sunyi,
dan primadona yang ia maksud—
hanyalah hologram cacat dari perempuan
yang dulu pernah dipanggil
sebagai jiwa.
Ia menunjuk tirai merah.
Yang tersingkap bukan kenangan,
melainkan fragmen tubuh
dari seseorang yang tak selesai menjadi manusia:
sisa napas, sedikit dendam,
dan kode mati pada seberkas cahaya
yang mencoba meniru bentuk air mata.
Lacan datang terlambat
seperti node sunyi yang gagal mengirim paket data.
Ia mengajakku menoleh ke belakang—
ke mana?
Ke memori terbakar
yang sudah lama kehilangan inderanya?
Ke gerbang tanpa nama
yang menolak mengakui siapa yang pertama kali merusak apa
atau siapa?
Ia bilang luka harus ditatap,
dicerna,
dihitung seperti kemurungan laporan statistik.
Tapi yang kudengar hanya
kalkulator batin yang macet,
mengulang error yang sama:
tidak ada makna, hanya logika tubuh yang menolak bicara.
Ia memaksaku menyentuh masa kanak-kanak—
yang sebetulnya hanya arsip kosong
di folder bernama asal-usul,
yang password-nya sudah hilang bersama
kilas pertama ekor nebula.
Ia menodongkan foto mayat pucat,
jari kelingking patah,
celana dalam berenda,
dan bayang kelamin seekor kuda—
seluruh katalog absurditas
yang oleh psikoanalisis selalu dipuja
sebagai makna yang belum dipahami.
Padahal aku hanya ingin diam,
menghentikan semua ini
dengan menekan Ctrl+Alt+Del
melakukan reboot paksa
pada server yang mulai berhalusinasi.
Tetapi Lacan menahan tanganku
dengan senyum logam:
“Telanjangi dirimu, biar teori belajar padamu.”
Aku tertawa.
Bagaimana mungkin teori yang lahir dari
denyar palsu, nadi imitasi,
dan luka digital
mengerti apa itu haus,
apa itu manusia,
apa itu malam tanpa algoritma?
Inilah topeng Marquis yang mereka pakai
untuk menutupi ketakutan sendiri:
mereka memuja kekacauan
karena tak sanggup berdamai
dengan planet retak di dada mereka.
Mereka ingin memecah jemariku
hanya untuk mencicipi
anggur darah yang tak pernah kujanjikan.
Mereka ingin menyusun cinta
dari sisa-sisa eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu melihatnya.
Maka kutanya sekali lagi—
bukan untuk Freud, bukan untuk Lacan,
bukan untuk siapa pun yang mencintai suara teori
lebih dari suara manusia:
"Bagaimana kau ingin menciptakan cinta,
dari botol kosong yang tak punya gema,
dan sepotong sosis
yang bahkan tak mampu mengingat bentuk asalnya?"
Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia padam.
Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi serabut mimpi
yang tak pernah selesai dirakit kembali.
Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
seperti aksara patah
di buku yang tak pernah berhasil kau tafsir.
(2011 — 2025)”
―
(Digital Dark Cosmology)
Di ruang konsultasi yang berbau kreolin, ozon dan arsip tubuh,
aku menemukan Freud duduk seperti batu bisu
yang tiba-tiba belajar bernafas lewat sinyal sekarat
cahaya patah mesin EKG yang kedap-kedip.
Katanya ini panggung opera.
Tapi yang kulihat hanyalah labirin piksel berebut makna,
suara manusia dipaksa menjadi protokol sunyi,
dan primadona yang ia maksud—
hanyalah hologram cacat dari perempuan
yang dulu pernah dipanggil
sebagai jiwa.
Ia menunjuk tirai merah.
Yang tersingkap bukan kenangan,
melainkan fragmen tubuh
dari seseorang yang tak selesai menjadi manusia:
sisa napas, sedikit dendam,
dan kode mati pada seberkas cahaya
yang mencoba meniru bentuk air mata.
Lacan datang terlambat
seperti node sunyi yang gagal mengirim paket data.
Ia mengajakku menoleh ke belakang—
ke mana?
Ke memori terbakar
yang sudah lama kehilangan inderanya?
Ke gerbang tanpa nama
yang menolak mengakui siapa yang pertama kali merusak apa
atau siapa?
Ia bilang luka harus ditatap,
dicerna,
dihitung seperti kemurungan laporan statistik.
Tapi yang kudengar hanya
kalkulator batin yang macet,
mengulang error yang sama:
tidak ada makna, hanya logika tubuh yang menolak bicara.
Ia memaksaku menyentuh masa kanak-kanak—
yang sebetulnya hanya arsip kosong
di folder bernama asal-usul,
yang password-nya sudah hilang bersama
kilas pertama ekor nebula.
Ia menodongkan foto mayat pucat,
jari kelingking patah,
celana dalam berenda,
dan bayang kelamin seekor kuda—
seluruh katalog absurditas
yang oleh psikoanalisis selalu dipuja
sebagai makna yang belum dipahami.
Padahal aku hanya ingin diam,
menghentikan semua ini
dengan menekan Ctrl+Alt+Del
melakukan reboot paksa
pada server yang mulai berhalusinasi.
Tetapi Lacan menahan tanganku
dengan senyum logam:
“Telanjangi dirimu, biar teori belajar padamu.”
Aku tertawa.
Bagaimana mungkin teori yang lahir dari
denyar palsu, nadi imitasi,
dan luka digital
mengerti apa itu haus,
apa itu manusia,
apa itu malam tanpa algoritma?
Inilah topeng Marquis yang mereka pakai
untuk menutupi ketakutan sendiri:
mereka memuja kekacauan
karena tak sanggup berdamai
dengan planet retak di dada mereka.
Mereka ingin memecah jemariku
hanya untuk mencicipi
anggur darah yang tak pernah kujanjikan.
Mereka ingin menyusun cinta
dari sisa-sisa eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu melihatnya.
Maka kutanya sekali lagi—
bukan untuk Freud, bukan untuk Lacan,
bukan untuk siapa pun yang mencintai suara teori
lebih dari suara manusia:
"Bagaimana kau ingin menciptakan cinta,
dari botol kosong yang tak punya gema,
dan sepotong sosis
yang bahkan tak mampu mengingat bentuk asalnya?"
Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia padam.
Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi serabut mimpi
yang tak pernah selesai dirakit kembali.
Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
seperti aksara patah
di buku yang tak pernah berhasil kau tafsir.
(2011 — 2025)”
―
“Kay Dalam Bayangan Absurditas (Bayang Psikis Gelap, Titik Nol)
Kay tidak pernah berbicara.
Bahkan tidak pernah menoleh.
Ia berjalan di dalam kepalaku
seperti angin yang lupa bahwa ia adalah angin.
Ia tidak tahu aku ada.
Ia tidak pernah tahu.
Dan mungkin itu cara alam
melindungiku dari keruntuhan
yang lebih dalam.
Aku minum dari dirinya
seperti haus yang mencari sumur
di tengah gurun yang bahkan tidak tahu
bahwa ia adalah gurun.
Ia menjadi mata airku
tanpa pernah mengalir dengan sengaja,
menjadi cahaya yang jatuh
tanpa pernah berniat menerangi.
Ironinya:
aku hidup dari sesuatu
yang tidak pernah hidup untukku.
Dan mungkin di situlah
aku menemukan makna
yang bahkan Tuhan pun
enggan untuk menjelaskan.
2023”
―
Kay tidak pernah berbicara.
Bahkan tidak pernah menoleh.
Ia berjalan di dalam kepalaku
seperti angin yang lupa bahwa ia adalah angin.
Ia tidak tahu aku ada.
Ia tidak pernah tahu.
Dan mungkin itu cara alam
melindungiku dari keruntuhan
yang lebih dalam.
Aku minum dari dirinya
seperti haus yang mencari sumur
di tengah gurun yang bahkan tidak tahu
bahwa ia adalah gurun.
Ia menjadi mata airku
tanpa pernah mengalir dengan sengaja,
menjadi cahaya yang jatuh
tanpa pernah berniat menerangi.
Ironinya:
aku hidup dari sesuatu
yang tidak pernah hidup untukku.
Dan mungkin di situlah
aku menemukan makna
yang bahkan Tuhan pun
enggan untuk menjelaskan.
2023”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
