,

Nihilisme Quotes

Quotes tagged as "nihilisme" Showing 1-15 of 15
Rizki Ridyasmara
“‎Bagiku modernisme adalah nihilisme. Atas nama modernisme, orang-orang Jakarta siap melucuti seluruh pakaiannya di muka umum, namun atas nama modernisme pula orang-orang di Papua berlomba-lomba menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian.”
Rizki Ridyasmara, The Jacatra Secret

Albert Camus
“Ce monde est sans importance et qui le reconnait conquiert sa liberté.”
Albert Camus, Caligula

Simone de Beauvoir
“Le nihiliste a raison de penser que le monde no possède aucune justification et que lui-même n'est rien; mais il oublie qu'il lui appartient de justifier le monde et de se faire exister valablement.”
Simone de Beauvoir, Pour une morale de l'ambiguïté

Louis-Ferdinand Céline
“Plus de mystère, plus de niaiserie, on a bouffé toute sa poésie puisqu’on a vécu jusque-là. Des haricots, la vie.”
Louis-Ferdinand Céline, Journey to the End of the Night

Réjean Ducharme
“On ne peut se fier sur rien : on ne peut même pas, quand ça va mal, être sûr que rien ne va nous faire déroger à notre désespoir. Il n'y a rien qui tienne; il n'y a rien tout court; il faut partir de cette hypothèse et ne pas la quitter.”
Réjean Ducharme, L'hiver de force

P.F. Thomése
“Voor altijd nooit meer. Overal nergens meer te vinden.”
P.F. Thomése

Petra Hermans
“Nihilisme had de mens, weinig tot niets, te zeggen.”
Petra Hermans

Albert Camus
“La négation de tout est une servitude et la vraie liberté, une soumission intérieure à une valeur qui fait face à l'histoire et ses succès.”
Albert Camus, The Rebel

Albert Camus
“Tout révolté, par le seul mouvement qui le dresse face à l’oppresseur, plaide donc pour la vie, s’engage à lutter contre la servitude, le mensonge et la terreur et affirme, le temps d’un éclair, que ces trois fléaux font régner le silence entre les hommes, les obscurcissant les uns aux autres et les empêchent de se retrouver dans la seule valeur qui puisse les sauver du nihilisme, la longue complicité des hommes aux prises avec leur destin.”
Albert Camus, The Rebel

Petra Hermans
“Het respect voor normen en waarden is ogenschijnlijk tot een uitzonderlijk niveau gedaald.”
Petra Hermans, Voor een betere wereld

Karim Nas
“Segalanya di semesta ini nisbi”
Karim Nas, Puspabangsa

Torrey Peters
“Pour le commun des mortelles trans, la route était barrée dès le début. Pas de taf, pas de mariage, pas de bébé, et, si une femme trans pouvait être une muse, personne ne voulait d'une œuvre où elle s'exprime elle-même. C'est ainsi que, par défaut, les femmes trans dérivèrent dans une sorte de no-futurisme là où d'autres queers célèbrent l'ironie, la joie et la mort dans lesquelles iels se précipitent. Cette dérive vers le nihilisme paraissait bien plus glamour quand le corps devenu cadavre était un choix sauvage et volontaire plutôt qu'une probabilité statistique”
Torrey Peters, Detransition, Baby

Titon Rahmawan
“Sang Penjudi

Aku membaca detak jantungmu
di balik pikiran yang memburu
Galau menunggu pertempuran
yang tahu akan berakhir tragis;
Sepasang tanduk banteng melawan cakar beruang bengis.
Nasib kau pertaruhkan di atas layar simulakra,
Menerka angka-angka mabuk dengan tetesan air mata
Memilah sinyal palsu dari api yang nyata
Semata-mata hanya demi harapan belaka.

Adakah sejumput doa dalam lemparan dadumu itu?
Angka yang kau tafsir dari mimpi di balik bayang ilusi:
Bisa seekor ular cobra dalam segelas coca-cola.
Lalu kemana perginya rembulan di tengah keheningan itu?
Apakah ia terlipat rapi dalam dompetmu?
Wangi selembar 'cepek' yang masih baru.

Mengharap yang tak pernah ada seperti asap rokok mengepul di udara.
Siapa tertawa pada nasib tak berketentuan?
Ibarat roda motor berjalan tanpa tujuan.
Terpikir masih seberapa besar peruntungan menghampirimu
Sepuluh seratus seribu, lalu...

Terbayang uang berjuta-juta tertawa terbahak menatap ke arahmu.
Mengira besok akan terbeli sebuah mobil baru,
Tinggal pilih model yang mana lagi?
Body sensual dan bibir sexy.
Kehangatan yang kau impikan
di tengah malam yang dingin
jelang pukul empat dini hari.
Dan kau masih terjaga,
saat kemudian tersadar
telah kehilangan segalanya.

Oktober 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PANGKUR: Tubuh yang Ditanggalkan Cuaca

Langit pecah.
Bumi menerima sisanya: mayat cuaca yang membeku di atas punggung manusia.
Air turun tanpa ampun—bukan hujan,
melainkan penderitaan yang kehilangan tempat berpijak.

Tubuh-tubuh tergeletak seperti huruf-huruf patah
yang tak sanggup lagi membentuk doa.
Di sela retakan tanah,
ada bisik yang mungkin hembusan terakhir napas Tuhan yang kelelahan,
atau hanya suara angin yang menolak membawa nama-nama kita.

Air melesat dari segala penjuru
seperti pemburu mengejar mangsa,
melumpuhkan harapan, ingatan,
kemanusiaan.
Ia turun sebagai fenomena, bukan pesan atau teguran:
sebagai kadar yang tak tertanggungkan.

Air mata membeku seperti tulang tua.
Jalan tenggelam dalam dendam.
Setiap langkah memantulkan gema
dari sesuatu yang lama mati,
tapi belum selesai dikuburkan:
hutan ingatan.

Rimbun cahaya bergulung
seperti batang kayu terpenggal
di bawah cahaya yang dingin.
Angka mengambang ratusan
jumlahnya
serupa wajah-wajah saling melewati
tanpa saling mengenal,
seolah mata mereka terbuat dari beling
yang baru saja diangkat dari perut api.

Ribuan gergaji jatuh di tanah.
Tak ada suara.
Hanya getarnya yang merayap di pori-pori bumi,
menyentuh dengkul manusia
yang tiba-tiba ingin runtuh.

Kata-kata saling menikam di layar kaca
tanpa niat, tanpa dendam pribadi.
Hanya refleks dari kelelahan yang terlalu tua,
terlalu lama menunggu belas kasihan
dari langit yang kini berlubang
sebesar telapak tangan raksasa.

Di mata kita, luka mengeras seperti kerak besi.
Di dada kita, sesak berkibar seperti bendera yang setengah ditelan lumpur.
Manusia berjalan seperti bangkai
yang belum selesai dikremasi,
menyisakan bau asin kemanusiaan
yang remuk.

Segala keegoisan berhamburan di jalan:
orang-orang saling mendahului, saling memotong napas,
berebut udara seakan oksigen hanya untuk satu dada.
Kedunguan merayap di ubun-ubun
seperti jamur hitam yang tumbuh pada bangkai pohon tumbang.

Ada bayi diangkat dari air—
suara tangisnya pendek, hampir mirip batuk rejan.
Ada ibu yang memeluk nama anaknya
tanpa bisa lagi menemukan tubuhnya.

Di kejauhan,
seekor anjing berdiri di atas atap rumah—
matanya merah, bukan karena marah,
tapi karena dunia telah menolak mengenangnya.

Mawar liar terhanyut di selokan:
keindahan yang diinjak tanpa sengaja, tanpa rasa.
Air melahap kelopaknya
secepat manusia melupakan peristiwa.

Bau bangkai menyelinap ke bulu mata.
Pekat lumpur bercampur asin keringat, menempel seperti dendam tua
yang tak pernah berhasil ditebus
oleh siapa pun.

Meraba denyut lirih
paru-paru bumi yang tersengal
seperti ingin berhenti bernapas.
Baru menyadari—
yang tenggelam bukan hanya tubuh,
melainkan sisa kesadaran yang dulu pernah menyebut dirinya manusia.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DURMA: Tubuh yang Ditanggalkan Cuaca

Langit pecah.
Bumi menerima sisanya: mayat cuaca yang membeku di atas punggung manusia.
Air turun tanpa ampun—bukan hujan,
melainkan penderitaan yang kehilangan tempat berpijak.

Tubuh-tubuh tergeletak seperti huruf-huruf patah
yang tak sanggup lagi membentuk doa.
Di sela retakan tanah,
ada bisik yang mungkin hembusan terakhir napas Tuhan yang kelelahan,
atau hanya suara angin yang menolak membawa nama-nama kita.

Air melesat dari segala penjuru
seperti pemburu mengejar mangsa,
melumpuhkan harapan, ingatan,
kemanusiaan.
Ia turun sebagai fenomena, bukan pesan atau teguran:
sebagai kadar yang tak tertanggungkan.

Air mata membeku seperti tulang tua.
Jalan tenggelam dalam dendam.
Setiap langkah memantulkan gema
dari sesuatu yang lama mati,
tapi belum selesai dikuburkan:
hutan ingatan.

Rimbun cahaya bergulung
seperti batang kayu terpenggal
di bawah cahaya yang dingin.
Angka mengambang ratusan
jumlahnya
serupa wajah-wajah saling melewati
tanpa saling mengenal,
seolah mata mereka terbuat dari beling
yang baru saja diangkat dari perut api.

Ribuan gergaji jatuh di tanah.
Tak ada suara.
Hanya getarnya yang merayap di pori-pori bumi,
menyentuh dengkul manusia
yang tiba-tiba ingin runtuh.

Kata-kata saling menikam di layar kaca
tanpa niat, tanpa dendam pribadi.
Hanya refleks dari kelelahan yang terlalu tua,
terlalu lama menunggu belas kasihan
dari langit yang kini berlubang
sebesar telapak tangan raksasa.

Di mata kita, luka mengeras seperti kerak besi.
Di dada kita, sesak berkibar seperti bendera yang setengah ditelan lumpur.
Manusia berjalan seperti bangkai
yang belum selesai dikremasi,
menyisakan bau asin kemanusiaan
yang remuk.

Segala keegoisan berhamburan di jalan:
orang-orang saling mendahului, saling memotong napas,
berebut udara seakan oksigen hanya untuk satu dada.
Kedunguan merayap di ubun-ubun
seperti jamur hitam yang tumbuh pada bangkai pohon tumbang.

Ada bayi diangkat dari air—
suara tangisnya pendek, hampir mirip batuk rejan.
Ada ibu yang memeluk nama anaknya
tanpa bisa lagi menemukan tubuhnya.

Di kejauhan,
seekor anjing berdiri di atas atap rumah—
matanya merah, bukan karena marah,
tapi karena dunia telah menolak mengenangnya.

Mawar liar terhanyut di selokan:
keindahan yang diinjak tanpa sengaja, tanpa rasa.
Air melahap kelopaknya
secepat manusia melupakan peristiwa.

Bau bangkai menyelinap ke bulu mata.
Pekat lumpur bercampur asin keringat, menempel seperti dendam tua
yang tak pernah berhasil ditebus
oleh siapa pun.

Meraba denyut lirih
paru-paru bumi yang tersengal
seperti ingin berhenti bernapas.
Baru menyadari—
yang tenggelam bukan hanya tubuh,
melainkan sisa kesadaran yang dulu pernah menyebut dirinya manusia.

Desember 2025”
Titon Rahmawan