Fenomena Quotes

Quotes tagged as "fenomena" Showing 1-3 of 3
Dian Nafi
“Agar otak mudah menjala ide, maka perlu membiasakan untuk berpikir, merenung serta membaca situasi dari fenomena apapun”
Dian Nafi, socioteenpreneur

Titon Rahmawan
“4 Suara Cinta Terlarang

1. Kejujuran yang
Membakar Tubuh

Aku mencintainya,
dan dunia pun runtuh seperti tebing rapuh
yang tak sanggup menahan detak jantungku sendiri.

Aku tahu, aku tak mungkin menentang nyalang matahari,
tapi tubuhku tidak mengenal larangan,
dan terang tidak pernah menanyakan alasan
mengapa dua jiwa yang luka
saling mencari seperti dua nyala api
yang ingin saling memakan,
saling menghancurkan.

Aku ingin berkata aku kuat,
tapi setiap kali ia tersenyum
dadaku pecah seperti rekah buah delima
dan rahasiaku tumpah ke tanah
yang tak pernah memintanya.

Tak ada yang suci di dalamku,
kecuali keberanianku mencintainya
meski cinta itu mengutukku
dengan cahaya yang terlalu panas
untuk kuemban sendiri.

Aku adalah perempuan
yang terbakar nyala api
oleh pelukan yang tak pernah terjadi.

2. Pengingkaran Metafisik

Aku tidak mencintainya.
Aku hanya mengikuti jejak sunyi
yang muncul setiap kali ia melintas,
seperti bayang yang tidak punya tubuh
dan tubuh yang tidak punya tujuan.

Jika aku memikirkannya,
itu bukan cinta—
hanya percikan waktu
yang salah jatuh ke dalam mataku.

Yang kupahami hanyalah kehampaan:
ruang di antara kami
yang menutup,
membuka,
menutup kembali,
tanpa alasan yang dapat ditafsirkan.

Aku tidak mencintainya,
tapi aku mendengar detak langkahnya
bahkan ketika ia tidak berjalan.

Mungkin cinta hanyalah nama lain
untuk ruang yang gagal menyebut dirinya
sebagai ketidakhadiran.

3. Penolakan yang Bermartabat

Aku mengusir perasaanku sendiri
seperti menutup pintu rumah
yang pernah menyelamatkanku
dari gempuran badai.

Aku tidak boleh menginginkan.
Itu sudah cukup untuk menyiksaku.

Jika ia berdiri di hadapanku,
aku akan mengangguk,
aku akan tersenyum,
dan aku akan menyimpan seluruh gempa
di balik tulang rusukku
seperti perempuan yang menjaga rahasianya
dengan kesunyian yang keras
menentang salju musim dingin.

Cinta ini tidak boleh bernama.
Biarlah ia menjadi bayangan panjang
yang lewat di atas lantai batu
tanpa sempat menyentuhku.

Aku tidak akan mencarinya.
Aku tidak akan memanggilnya.
Tapi Tuhan tahu
aku memikirkannya setiap malam
dengan hati yang gemetar
dan mata menolak terpejam.

4. Pembenaran yang
Paling Liar

Jika dunia menolak cintaku,
biarlah dunia yang diganti.

Aku memandangnya
seluruh hukum moral kuno
retak seperti kaca tua
yang selama ini hanya memantulkan kebohongan.

Mengapa aku harus tunduk
pada kata-kata yang diciptakan
oleh orang-orang yang takut pada diri mereka sendiri?

Cinta tak pernah salah—
yang salah adalah bahasa
yang gagal memanggilnya
dengan nama yang tepat.

Jika dosa adalah pintu,
maka aku akan masuk
dengan sepenuh hati
dengan keras kepala.
Jika cinta adalah perang,
maka aku siap mati
dengan penuh kebanggaan.

Aku mencintainya
dan aku tidak meminta maaf.
Justru aku menuntut bintang
untuk belajar bersinar
seterang hasrat dan
keinginanku sendiri.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DURMA: Tubuh yang Ditanggalkan Cuaca

Langit pecah.
Bumi menerima sisanya: mayat cuaca yang membeku di atas punggung manusia.
Air turun tanpa ampun—bukan hujan,
melainkan penderitaan yang kehilangan tempat berpijak.

Tubuh-tubuh tergeletak seperti huruf-huruf patah
yang tak sanggup lagi membentuk doa.
Di sela retakan tanah,
ada bisik yang mungkin hembusan terakhir napas Tuhan yang kelelahan,
atau hanya suara angin yang menolak membawa nama-nama kita.

Air melesat dari segala penjuru
seperti pemburu mengejar mangsa,
melumpuhkan harapan, ingatan,
kemanusiaan.
Ia turun sebagai fenomena, bukan pesan atau teguran:
sebagai kadar yang tak tertanggungkan.

Air mata membeku seperti tulang tua.
Jalan tenggelam dalam dendam.
Setiap langkah memantulkan gema
dari sesuatu yang lama mati,
tapi belum selesai dikuburkan:
hutan ingatan.

Rimbun cahaya bergulung
seperti batang kayu terpenggal
di bawah cahaya yang dingin.
Angka mengambang ratusan
jumlahnya
serupa wajah-wajah saling melewati
tanpa saling mengenal,
seolah mata mereka terbuat dari beling
yang baru saja diangkat dari perut api.

Ribuan gergaji jatuh di tanah.
Tak ada suara.
Hanya getarnya yang merayap di pori-pori bumi,
menyentuh dengkul manusia
yang tiba-tiba ingin runtuh.

Kata-kata saling menikam di layar kaca
tanpa niat, tanpa dendam pribadi.
Hanya refleks dari kelelahan yang terlalu tua,
terlalu lama menunggu belas kasihan
dari langit yang kini berlubang
sebesar telapak tangan raksasa.

Di mata kita, luka mengeras seperti kerak besi.
Di dada kita, sesak berkibar seperti bendera yang setengah ditelan lumpur.
Manusia berjalan seperti bangkai
yang belum selesai dikremasi,
menyisakan bau asin kemanusiaan
yang remuk.

Segala keegoisan berhamburan di jalan:
orang-orang saling mendahului, saling memotong napas,
berebut udara seakan oksigen hanya untuk satu dada.
Kedunguan merayap di ubun-ubun
seperti jamur hitam yang tumbuh pada bangkai pohon tumbang.

Ada bayi diangkat dari air—
suara tangisnya pendek, hampir mirip batuk rejan.
Ada ibu yang memeluk nama anaknya
tanpa bisa lagi menemukan tubuhnya.

Di kejauhan,
seekor anjing berdiri di atas atap rumah—
matanya merah, bukan karena marah,
tapi karena dunia telah menolak mengenangnya.

Mawar liar terhanyut di selokan:
keindahan yang diinjak tanpa sengaja, tanpa rasa.
Air melahap kelopaknya
secepat manusia melupakan peristiwa.

Bau bangkai menyelinap ke bulu mata.
Pekat lumpur bercampur asin keringat, menempel seperti dendam tua
yang tak pernah berhasil ditebus
oleh siapa pun.

Meraba denyut lirih
paru-paru bumi yang tersengal
seperti ingin berhenti bernapas.
Baru menyadari—
yang tenggelam bukan hanya tubuh,
melainkan sisa kesadaran yang dulu pernah menyebut dirinya manusia.

Desember 2025”
Titon Rahmawan