Intertekstual Imaji Quotes

Quotes tagged as "intertekstual-imaji" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“Di Ujung Kanvas, Para Malaikat Jatuh seperti Cermin Retak

Pada hari ketika langit meniru sapuan kuas Dali,
aku melihat tiga angsa menari di telaga yang tidak pernah ada.
Tapi bayangan mereka menjelma jadi sekawanan gajah—
yang memikul menara-menara mimpi
yang kaki-kakinya memanjang seperti doa yang tak sampai.

Di sana, waktu tidak berjalan.
Ia tergantung seperti jam yang mencair,
mengalir dari dinding kesadaranku
menuju lubang kelam
tempat malaikat dan iblis berdesakan
mempertengkarkan siapa yang lebih dahulu menciptakan cahaya.

Serafim mencabut bulunya sendiri
dan bulu itu berubah menjadi ular
yang menyebut dirinya dengan seribu nama:
Ashmedai, Azazel, Ashtaroth—
nama-nama yang dahulu kupelajari dengan rasa takut,
namun kini bayangan itu datang kepadaku
seperti bisikan seorang kawan lama yang ingin dipanggil pulang.

Aku bertanya padanya:
“Apakah kita sedang bermimpi,
atau kita hanyalah mimpi yang sedang diingatkan kembali kepada dirinya sendiri?”
Bayanganku menjawab
dengan suara yang bukan suaraku:
“Di sinilah eros dan tanathos menari.
Di sinilah kelahiran selalu meminjam wajah kematian.”

Dalam jeda itu,
seekor harimau melompat keluar dari rahim buah delima
yang meletus seperti planet kecil penuh kutukan.
Dari balik taringnya,
aku melihat wajahku sendiri—
wajah yang telah lama ditinggalkan oleh logika.

Dan ketika seekor badak berkaki laba-laba
melintas di atas kepalaku,
aku menyadari bahwa tuhan mungkin sedang tertidur,
dan iblis sedang melukis-nya kembali
dengan warna-warna yang terlalu jujur untuk kita mengerti.

Malaikat-malaikat yang jatuh itu
menabrak permukaan telaga,
menjadi riak yang memanggil masa laluku keluar dari persembunyian.
Aku mencoba menyentuhnya,
namun jari-jari tangan ini berlubang
seperti relik yang kehilangan alasan untuk diselamatkan.

“Apa yang kau cari?”
tanya seekor gajah yang muncul di tengah mimpi
dengan mata penuh kesedihan purba.
Aku tidak menjawab.
Sebab seluruh jawabanku
terbakar dalam pusat matahari
yang ternyata bukan matahari,
melainkan luka yang sedang berevolusi.

Dan ketika akhirnya cahaya itu meledak,
aku melihat diriku sendiri
—telanjang, kehilangan nama—
dilahirkan dari pertempuran yang tak pernah kuceritakan kepada siapa pun.

Aku bukan lagi penyair.
Aku bukan lagi kilasan mimpi.
Aku hanyalah kesadaran yang menetas
dari absurditas
yang membunuh egoku berulang kali
agar aku bisa melihat dengan mata yang tidak lagi meminta
untuk dimengerti.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“TARIAN TIGA ANGSA DAN IHWAL MIMPI (RE-IMAGINED SURREAL PSYCHO-MYSTICAL)

/1/ Swans Reflecting Elephants

Langit patah di hadapanku—
retakannya melingkar seperti iris mata kosmik
yang memerhatikan segala sesuatu
tanpa pernah memutuskan siapa yang benar.

Di telaga yang terbuat dari ingatan
tiga angsa menari
dengan sayap selembut doa yang belum sempat dikabulkan.
Namun di bayangan air
mereka berubah menjadi gajah
yang memikul menara-menara waktu
dengan kaki panjang seperti renungan
yang tak pernah selesai.

Di balik lengkung cahaya itu,
para malaikat dan iblis menunduk,
menahan napas sambil saling menuding
siapa yang pertama kali melukis cahaya
di atas kanvas semesta.
Nama-nama mereka menetes
dari pinggir kesadaranku—
Azazel, Ashmedai, Ashtaroth—
nama yang dulu kutakuti,
kini terasa seperti panggilan dari rumah yang melahirkanku dari api.

Aku mencoba menyentuh permukaan air,
namun telaga itu bergeming
dan memantulkan wajahku
dengan bentuk yang tak lagi kukenal.
Ketika jam di tanganku mencair
menjadi sungai kecil yang mengalir ke arah tak tentu,
aku tahu:
logika telah mati malam ini,
dan absurditas adalah satu-satunya cahaya yang tersisa.

/2/ Dream Caused by the Flight of a Bee around a Pomegranate

Sebelum aku terbangun,
ada suara dengung yang menusuk seperti wahyu,
lahir dari buah delima
yang pecah menjadi orbit merah di balik kelopak mataku.

Dari dalam buah itu,
seekor harimau melompat
seperti ketakutan masa kecil
yang lupa aku kubur.
Lalu seekor gajah berkaki laba-laba
merayap di langit
dengan gerak lambat
yang menciptakan teror
lebih halus dari doa.

Tubuhmu—
sepi dan telanjang seperti nubuat tentang sang penyelamat—
mendorongku ke tepi kesadaran yang licin.
Aku melihat cermin yang menolak memantulkan diriku,
melihat ikan hiu yang membuka mulutnya
untuk melahirkan sepasang kekhawatiran,
melihat seekor ular
yang menyebut dirinya dengan nama yang tak ingin kuingat
namun terus memaksakan diri disebut.

Di bawah semua itu,
aku mendengar suara dalam diriku berbisik:
“Kesadaran tidak datang dari keheningan,
tetapi dari ketakutan
yang menolak kau mengerti.”

Dan aku tahu,
di titik itu eros dan tanathos
sedang menertawakanku
tanpa menawarkan penjelasan apa pun.

/3/ The Great Masturbator

Ketika aku memasuki tubuh mimpi yang terakhir,
aku menemukan diriku
di antara reruntuhan egoku sendiri.
Ada telur yang retak,
ada cangkang yang menyerupai rahim,
dan dari dalamnya keluar belatung-belatung bercahaya
yang memakan sisa-sisa masa laluku
dengan kelaparan yang nyaris asketis.

Seekor uir-uir memunguti mimpi yang patah
dan menyimpannya di jantungku
seperti pendoa yang menyembunyikan dosa muridnya.
Aku mencoba menghalaunya
namun tangan dan kakiku
seolah terbuat dari kaca yang teriris,
jatuh satu per satu
ke dalam sumur yang tak memiliki dasar.

Aku melihat diriku sendiri
berdiri di tepi kanvas,
telanjang dan kehilangan nama.
Di belakangku,
seekor kuda kejantanan
meringkik dengan suara yang memanggil dewa-dewa purba,
sementara di depanku,
cahaya retak seperti jemaat
yang kehilangan nabinya.

“Apakah ini kebangkitan?”
tanyaku.
Namun yang menjawab
bukan malaikat,
bukan iblis,
melainkan kesadaran
yang lahir dari kehancuranku sendiri:

Aku bukan lagi penyair.
Aku bukan lagi tubuh yang bermimpi.
Aku adalah luka yang menemukan bahasanya sendiri.
Dan dari absurditas inilah,
aku menetas kembali.

November 2025”
Titon Rahmawan