Monolog Quotes

Quotes tagged as "monolog" Showing 1-3 of 3
Tere Liye
“Benci? Entahlah. Tak mungkin membenci tapi masih rajin bertanya. Atau memang ada benci jenis baru?”
Tere Liye, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Albert Sánchez Piñol
“Dem Anschein nach führten wir einen Dialog, doch in Wirklichkeit waren es Monologe, die sich kreuzten.”
Albert Sánchez Piñol

Titon Rahmawan
“Variasi Suluk: Suara yang Tersesat dalam Tubuh

Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.

Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.

Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.

Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.

Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.

Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.

Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.

Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.

Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.

Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.

Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.

Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.

Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.

Desember 2025.”
Titon Rahmawan