Monolog Quotes
Quotes tagged as "monolog"
Showing 1-3 of 3
“Benci? Entahlah. Tak mungkin membenci tapi masih rajin bertanya. Atau memang ada benci jenis baru?”
― Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
― Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
“Dem Anschein nach führten wir einen Dialog, doch in Wirklichkeit waren es Monologe, die sich kreuzten.”
―
―
“Variasi Suluk: Suara yang Tersesat dalam Tubuh
Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.
Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.
Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.
Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.
Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.
Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.
Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.
Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.
Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.
Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.
Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.
Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.
Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.
Desember 2025.”
―
Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.
Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.
Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.
Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.
Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.
Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.
Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.
Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.
Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.
Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.
Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.
Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.
Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.
Desember 2025.”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
