Centhini Quotes
Quotes tagged as "centhini"
Showing 1-4 of 4
“Variasi Suluk Tambangraras
Buku Kesembilan
: Elizabeth D. Inandiak
Inilah jantra sang Amongraga:
sedhakep awe-awe.
Serupa lintah yang lapar dan haus tenggelam dalam api samadi,
pulut ngelangut dalam pertapaan, terbuai bunyi gending Ladrang Rarangis. Tembang lamat-lamat mengalun,
batin lanjur tercebur dalam suara kidung Tri Kawula Gusana.
Seperti getah memikat balam, mambang terbang ngawang uwung ke jantung pulung.
Merangsek rubeda. Menjimak paksa ruda pari peksa Randa Sembada.
Matak aji jaran goyang: memagut bibir, menggerayang pinggang, meremas sintal buah dada.
Sungguh tiada beda watak manusia atau kera.
Jati ketlusupan ruyung.
Seratus lembing memburai usus menembus jantung.
Merasuk mabuk di bantun kidung Catur Wanara Rukem.
Gamelan sakti mengukir mimpi, memaksa turun dewi hapsari,
melucuti pakaian yang dikenakannya satu persatu.
Basah lidah menganak tuak.
Sloki demi sloki menantang mati.
Pada bunyi gong ke-12
kidung Sapta Kukila Wresa,
melupa umur, mengulur timba sembarang sumur.
Lupa japa segala mantra.
Lupa jampi segala kendi.
Di tempur Sungai Centhini
muntah api segala farji.
Rubuh segala tubuh.
Muspra segala radi.
Obah polah segala salah.
Singkap segala wadi.
Klenthing wadhah masin.
Bergaung kidung Nawa Wagra Lupa, menjelmalah ia jadi ular sawah yang menelan mentah-mentah seratus gajah. Bumi berputar bagai gasingan.
Bulan berjumpalitan seperti monyet kena tulup.
Sepuluh liman gergasi terkapar mati digempur nafsu tiada terbendung.
Tapi belum lagi usai kidung pamungkas, diteluhnya purusa lingga sang gandarwa hingga mengejang di sela-sela paha. Lembing mendesing menembus langit, telanjur kepayang menunggangi malam. Menyungsang batang pisang, memamah daun keladi.
Mabuk berat menimba hasrat,
hingga muncrat segala hayat.
Maret 2011”
―
Buku Kesembilan
: Elizabeth D. Inandiak
Inilah jantra sang Amongraga:
sedhakep awe-awe.
Serupa lintah yang lapar dan haus tenggelam dalam api samadi,
pulut ngelangut dalam pertapaan, terbuai bunyi gending Ladrang Rarangis. Tembang lamat-lamat mengalun,
batin lanjur tercebur dalam suara kidung Tri Kawula Gusana.
Seperti getah memikat balam, mambang terbang ngawang uwung ke jantung pulung.
Merangsek rubeda. Menjimak paksa ruda pari peksa Randa Sembada.
Matak aji jaran goyang: memagut bibir, menggerayang pinggang, meremas sintal buah dada.
Sungguh tiada beda watak manusia atau kera.
Jati ketlusupan ruyung.
Seratus lembing memburai usus menembus jantung.
Merasuk mabuk di bantun kidung Catur Wanara Rukem.
Gamelan sakti mengukir mimpi, memaksa turun dewi hapsari,
melucuti pakaian yang dikenakannya satu persatu.
Basah lidah menganak tuak.
Sloki demi sloki menantang mati.
Pada bunyi gong ke-12
kidung Sapta Kukila Wresa,
melupa umur, mengulur timba sembarang sumur.
Lupa japa segala mantra.
Lupa jampi segala kendi.
Di tempur Sungai Centhini
muntah api segala farji.
Rubuh segala tubuh.
Muspra segala radi.
Obah polah segala salah.
Singkap segala wadi.
Klenthing wadhah masin.
Bergaung kidung Nawa Wagra Lupa, menjelmalah ia jadi ular sawah yang menelan mentah-mentah seratus gajah. Bumi berputar bagai gasingan.
Bulan berjumpalitan seperti monyet kena tulup.
Sepuluh liman gergasi terkapar mati digempur nafsu tiada terbendung.
Tapi belum lagi usai kidung pamungkas, diteluhnya purusa lingga sang gandarwa hingga mengejang di sela-sela paha. Lembing mendesing menembus langit, telanjur kepayang menunggangi malam. Menyungsang batang pisang, memamah daun keladi.
Mabuk berat menimba hasrat,
hingga muncrat segala hayat.
Maret 2011”
―
“Variasi Suluk: Suara yang Tersesat dalam Tubuh
Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.
Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.
Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.
Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.
Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.
Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.
Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.
Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.
Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.
Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.
Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.
Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.
Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.
Desember 2025.”
―
Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.
Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.
Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.
Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.
Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.
Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.
Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.
Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.
Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.
Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.
Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.
Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.
Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.
Desember 2025.”
―
“Variasi Suluk Tembang Raras – Genealogi Saras Dialogis
Saras berdiri di ambang pintu yang bahkan tidak ia kenali.
Di belakangnya masa lalu menetes seperti air yang sulit ia tampung;
di depannya masa kini bergetar, kabur, seolah baru saja dicetak dari
bayangan yang salah mengingat dirinya.
Ia tidak tahu pintu mana yang benar.
Ia hanya tahu retakan yang makin melebar itu menggigil,
memanggil sesuatu yang lebih tua dari bahasa,
lebih tajam dari ketakutan.
Maka muncullah suara pertama—dingin, berdebu,
seperti batu yang lama disembunyikan malam.
SUWUNG:
"Kau mencari jawaban, anak waktu.
Namun dirimu sendiri masih bayang di balik kaca.
Mana yang kau pilih: jejak yang tak dapat kembali,
atau dunia yang selalu mengkhianatimu dengan wujud baru?"
Saras menunduk. Ia tidak paham apakah ia sedang ditanya,
atau sedang dihakimi.
Lalu suara kedua muncul—lebih hangat,
lebih manusiawi, tapi tetap menyimpan sesuatu yang liar.
AMONGRAGA:
"Jangan kau kira masa kini lebih benar dari mimpimu.
Tubuhmu menyimpan ingatan yang lebih jujur dari akalmu.
Mengapa kau biarkan logika dan nafsu bertengkar
di ruang sempit dadamu?"
Saras menggigit bibirnya.
Ia tahu suara itu berbicara tentang kegelisahan
yang ia simpan seperti batu panas di bawah lidah:
keinginan untuk melompat ke gelap,
tapi juga ketakutan akan cahaya yang telanjang.
SARAS (berbisik):
"Aku tidak tahu mana aku yang sebenarnya.
Yang di masa lalu terasa asing,
yang di masa kini kabur,
yang di masa depan meragukan.
Semua pintu bagiku seperti ilusi."
Suara Suwung dan Amongraga saling bersilangan,
seperti dua arus sungai yang menolak bercampur.
SUWUNG:
"Itu karena kau terlalu percaya pada batas.
Hitam–putih hanyalah cara dunia memudahkan dirinya sendiri.
Kesadaranmu bukan padat, ia kabut; biarkan ia bentuk dirinya."
AMONGRAGA:
"Namun jangan abaikan tubuhmu.
Tubuh tahu duluan apa yang rohmu sembunyikan.
Tidak semua ilusi adalah kebohongan;
kadang ia hanya anak bungsu dari kenyataan."
Saras terdiam.
Ia tidak ingin menjadi perantara dua dunia;
Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia mencari dirinya,
yang ia temukan adalah paradoks baru.
Suara Suwung merayap lembut:
SUWUNG:
"Ambang adalah rumahmu.
Kau bukan dicipta untuk memilih,
tetapi untuk mengungkap apa yang membuat pilihan itu mungkin."
Suara Amongraga menambahkan:
AMONGRAGA:
"Dan jangan takut pada keinginanmu sendiri.
Kadang nafsu lebih jujur daripada pikiran yang pura-pura bijak."
Saras mengangkat wajahnya.
Untuk pertama kali, ia melihat bahwa retakan itu
bukan ancaman—melainkan peta.
Ia tidak perlu memilih pintu.
Ia adalah pintu itu sendiri.
Dan ketika ia menyadari itu,
suara Suwung dan Amongraga
tidak hilang atau pergi—
mereka kembali diam
di tempat mereka lahir:
kedalaman dirinya sendiri.
Desember 2025”
―
Saras berdiri di ambang pintu yang bahkan tidak ia kenali.
Di belakangnya masa lalu menetes seperti air yang sulit ia tampung;
di depannya masa kini bergetar, kabur, seolah baru saja dicetak dari
bayangan yang salah mengingat dirinya.
Ia tidak tahu pintu mana yang benar.
Ia hanya tahu retakan yang makin melebar itu menggigil,
memanggil sesuatu yang lebih tua dari bahasa,
lebih tajam dari ketakutan.
Maka muncullah suara pertama—dingin, berdebu,
seperti batu yang lama disembunyikan malam.
SUWUNG:
"Kau mencari jawaban, anak waktu.
Namun dirimu sendiri masih bayang di balik kaca.
Mana yang kau pilih: jejak yang tak dapat kembali,
atau dunia yang selalu mengkhianatimu dengan wujud baru?"
Saras menunduk. Ia tidak paham apakah ia sedang ditanya,
atau sedang dihakimi.
Lalu suara kedua muncul—lebih hangat,
lebih manusiawi, tapi tetap menyimpan sesuatu yang liar.
AMONGRAGA:
"Jangan kau kira masa kini lebih benar dari mimpimu.
Tubuhmu menyimpan ingatan yang lebih jujur dari akalmu.
Mengapa kau biarkan logika dan nafsu bertengkar
di ruang sempit dadamu?"
Saras menggigit bibirnya.
Ia tahu suara itu berbicara tentang kegelisahan
yang ia simpan seperti batu panas di bawah lidah:
keinginan untuk melompat ke gelap,
tapi juga ketakutan akan cahaya yang telanjang.
SARAS (berbisik):
"Aku tidak tahu mana aku yang sebenarnya.
Yang di masa lalu terasa asing,
yang di masa kini kabur,
yang di masa depan meragukan.
Semua pintu bagiku seperti ilusi."
Suara Suwung dan Amongraga saling bersilangan,
seperti dua arus sungai yang menolak bercampur.
SUWUNG:
"Itu karena kau terlalu percaya pada batas.
Hitam–putih hanyalah cara dunia memudahkan dirinya sendiri.
Kesadaranmu bukan padat, ia kabut; biarkan ia bentuk dirinya."
AMONGRAGA:
"Namun jangan abaikan tubuhmu.
Tubuh tahu duluan apa yang rohmu sembunyikan.
Tidak semua ilusi adalah kebohongan;
kadang ia hanya anak bungsu dari kenyataan."
Saras terdiam.
Ia tidak ingin menjadi perantara dua dunia;
Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia mencari dirinya,
yang ia temukan adalah paradoks baru.
Suara Suwung merayap lembut:
SUWUNG:
"Ambang adalah rumahmu.
Kau bukan dicipta untuk memilih,
tetapi untuk mengungkap apa yang membuat pilihan itu mungkin."
Suara Amongraga menambahkan:
AMONGRAGA:
"Dan jangan takut pada keinginanmu sendiri.
Kadang nafsu lebih jujur daripada pikiran yang pura-pura bijak."
Saras mengangkat wajahnya.
Untuk pertama kali, ia melihat bahwa retakan itu
bukan ancaman—melainkan peta.
Ia tidak perlu memilih pintu.
Ia adalah pintu itu sendiri.
Dan ketika ia menyadari itu,
suara Suwung dan Amongraga
tidak hilang atau pergi—
mereka kembali diam
di tempat mereka lahir:
kedalaman dirinya sendiri.
Desember 2025”
―
“Suluk Suwung: Percakapan yang Tak Pernah Selesai Antara Suwung dan Amongraga
1.
AMONGRAGA:
Aku mendengarmu dari jauh—
gema yang berjalan tanpa tubuh,
seperti bayang yang lupa asalnya.
Apa yang kau cari di celah-celah
gelap ini?
SUWUNG:
Aku tidak mencari.
Aku hanya diam.
Diam yang terlalu lama,
hingga berubah menjadi bentuk
yang tak punya nama.
2.
AMONGRAGA:
Diam juga bagian dari suluk.
Ia jembatan menuju terang.
Mengapa kau menjadikannya liang?
SUWUNG:
Karena terangmu terlalu ribut.
Dan setiap mantra yang kau sebut
meninggalkan debu di nafas manusia.
3.
AMONGRAGA:
Aku berjalan dari kidung ke kidung,
dari tubuh ke tubuh,
hingga segala kenikmatan
mengungkit pintu-pintu wahyu.
SUWUNG:
Aku tahu.
Itulah jejak yang kau tinggalkan
di dada sejarah.
Tapi apa yang kau temukan?
Selain tubuh yang terus meminta
tanpa pernah selesai?
4.
AMONGRAGA:
Aku mencari puncak.
Puncak yang melampaui dunia.
Di sanalah aku menanggalkan daging
seperti menanggalkan bayang-bayangku.
SUWUNG:
Dan aku mencari dasar.
Dasar yang menelan dunia.
Dasar tempat segala suara berhenti
dan hanya retakan yang berbicara.
5.
AMONGRAGA:
Retakan juga bisa menjadi jendela.
Mengapa kau memilih menjadikannya rumah?
SUWUNG:
Karena rumah yang kau buat
ditopang oleh api.
Aku lelah menjadi tubuh
yang terus kau bakar
demi sebuah cahaya
yang tak pernah sampai.
6.
AMONGRAGA:
Lalu mengapa kau datang padaku?
Mengapa engkau memanggil namaku
dari jauh—
seperti anak yang kehilangan jalan pulang?
SUWUNG:
Aku ingin tahu
apakah seseorang sepertimu
pernah merasa kosong.
Atau kau memang menutupinya
dengan nyala yang memabukkan.
7.
AMONGRAGA:
Aku tak pernah kosong.
Aku penuh.
Penuh dengan bunyi,
dengan tubuh-tubuh,
dengan api yang naik turun
seperti nafas yang tak mau padam.
SUWUNG:
Maka di sanalah perbedaan kita.
Engkau penuh.
Dan aku kosong.
Tapi keduanya
sama-sama tak menjawab
apa-apa.
8.
AMONGRAGA:
Apa itu yang kau sebut suwung?
Hening yang menolak segala bentuk?
SUWUNG:
Suwung adalah tempat
di mana setiap jawaban
mati sebelum sempat disebutkan.
Sebuah ruang
yang tidak ingin menang.
Tidak ingin selamat.
Tidak ingin terlahir kembali.
9.
AMONGRAGA:
Jika begitu, apa yang kau inginkan dariku?
SUWUNG:
Aku ingin melihat
apa yang tetap berada pada dirimu
ketika seluruh kidungmu
aku bungkam.
Ketika seluruh tubuhmu
aku lepaskan.
Ketika seluruh cahaya
aku padamkan.
10.
AMONGRAGA:
Dan apa yang kau lihat?
SUWUNG:
Hanya satu hal:
bahwa bahkan engkau pun,
pada akhirnya,
adalah pintu yang tidak menuju
siapa-siapa.
11.
AMONGRAGA:
Jika aku pintu,
maka mengapa engkau tidak masuk?
SUWUNG:
Karena tidak ada apa pun di dalam.
Dan tidak ada apa pun di luar.
Yang ada hanyalah aku.
Dan bahkan aku
tidak sedang mencari diriku sendiri.
12.
AMONGRAGA:
Kalau begitu,
mengapa engkau tetap berdiri
di ambangku?
SUWUNG:
Karena di antara terangmu yang berisik
dan gelapku yang sunyi,
ambang adalah satu-satunya tempat
yang tidak memaksaku memilih.
13.
AMONGRAGA:
Engkau suluk yang patah.
Suluk yang menolak puncak.
SUWUNG:
Dan engkau
adalah doa yang terlalu keras
hingga lupa
bagaimana cara menjadi sunyi.
Desember 2025”
―
1.
AMONGRAGA:
Aku mendengarmu dari jauh—
gema yang berjalan tanpa tubuh,
seperti bayang yang lupa asalnya.
Apa yang kau cari di celah-celah
gelap ini?
SUWUNG:
Aku tidak mencari.
Aku hanya diam.
Diam yang terlalu lama,
hingga berubah menjadi bentuk
yang tak punya nama.
2.
AMONGRAGA:
Diam juga bagian dari suluk.
Ia jembatan menuju terang.
Mengapa kau menjadikannya liang?
SUWUNG:
Karena terangmu terlalu ribut.
Dan setiap mantra yang kau sebut
meninggalkan debu di nafas manusia.
3.
AMONGRAGA:
Aku berjalan dari kidung ke kidung,
dari tubuh ke tubuh,
hingga segala kenikmatan
mengungkit pintu-pintu wahyu.
SUWUNG:
Aku tahu.
Itulah jejak yang kau tinggalkan
di dada sejarah.
Tapi apa yang kau temukan?
Selain tubuh yang terus meminta
tanpa pernah selesai?
4.
AMONGRAGA:
Aku mencari puncak.
Puncak yang melampaui dunia.
Di sanalah aku menanggalkan daging
seperti menanggalkan bayang-bayangku.
SUWUNG:
Dan aku mencari dasar.
Dasar yang menelan dunia.
Dasar tempat segala suara berhenti
dan hanya retakan yang berbicara.
5.
AMONGRAGA:
Retakan juga bisa menjadi jendela.
Mengapa kau memilih menjadikannya rumah?
SUWUNG:
Karena rumah yang kau buat
ditopang oleh api.
Aku lelah menjadi tubuh
yang terus kau bakar
demi sebuah cahaya
yang tak pernah sampai.
6.
AMONGRAGA:
Lalu mengapa kau datang padaku?
Mengapa engkau memanggil namaku
dari jauh—
seperti anak yang kehilangan jalan pulang?
SUWUNG:
Aku ingin tahu
apakah seseorang sepertimu
pernah merasa kosong.
Atau kau memang menutupinya
dengan nyala yang memabukkan.
7.
AMONGRAGA:
Aku tak pernah kosong.
Aku penuh.
Penuh dengan bunyi,
dengan tubuh-tubuh,
dengan api yang naik turun
seperti nafas yang tak mau padam.
SUWUNG:
Maka di sanalah perbedaan kita.
Engkau penuh.
Dan aku kosong.
Tapi keduanya
sama-sama tak menjawab
apa-apa.
8.
AMONGRAGA:
Apa itu yang kau sebut suwung?
Hening yang menolak segala bentuk?
SUWUNG:
Suwung adalah tempat
di mana setiap jawaban
mati sebelum sempat disebutkan.
Sebuah ruang
yang tidak ingin menang.
Tidak ingin selamat.
Tidak ingin terlahir kembali.
9.
AMONGRAGA:
Jika begitu, apa yang kau inginkan dariku?
SUWUNG:
Aku ingin melihat
apa yang tetap berada pada dirimu
ketika seluruh kidungmu
aku bungkam.
Ketika seluruh tubuhmu
aku lepaskan.
Ketika seluruh cahaya
aku padamkan.
10.
AMONGRAGA:
Dan apa yang kau lihat?
SUWUNG:
Hanya satu hal:
bahwa bahkan engkau pun,
pada akhirnya,
adalah pintu yang tidak menuju
siapa-siapa.
11.
AMONGRAGA:
Jika aku pintu,
maka mengapa engkau tidak masuk?
SUWUNG:
Karena tidak ada apa pun di dalam.
Dan tidak ada apa pun di luar.
Yang ada hanyalah aku.
Dan bahkan aku
tidak sedang mencari diriku sendiri.
12.
AMONGRAGA:
Kalau begitu,
mengapa engkau tetap berdiri
di ambangku?
SUWUNG:
Karena di antara terangmu yang berisik
dan gelapku yang sunyi,
ambang adalah satu-satunya tempat
yang tidak memaksaku memilih.
13.
AMONGRAGA:
Engkau suluk yang patah.
Suluk yang menolak puncak.
SUWUNG:
Dan engkau
adalah doa yang terlalu keras
hingga lupa
bagaimana cara menjadi sunyi.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
