Narasi Quotes
Quotes tagged as "narasi"
Showing 1-3 of 3
“Tak ada harga mati di sepanjang lorong sejarah manusia, kecuali satu: evolusi. Ia adalah keniscayaan. Semua yang tak berevolusi, punah. Dan berevolusi bukan berarti menanggalkan identitas, tetapi merekayasanya agar kompatibel dengan realitas baru. Karena itulah asimilasi, integrasi, dan sinkretisme menjadi penting. Ia adalah cara manusia menyambung masa lalu ke masa depan, tanpa menelan bulat narasi usang, tetapi juga tanpa menghilangkan akar.”
― Enigmakrostik
― Enigmakrostik
“Renungan Kecil dari Kematian Hasrat
(Dark Psycho Surreal + Glitch Subterranean + Hannibal-esque Psychoanalysis)
Di ruang bawah tanah pikiran, tempat cahaya menua dan distorsi gemerisik suara radio,
aku menghitung setiap luka seperti baris kode yang dibaca oleh mata
yang tidak pernah berkedip.
Setiap belati yang kutorehkan menjadi gema yang menusuk telinga,
menggugat diriku dengan suara yang memakai voice overku sendiri
—atau sesuatu yang sangat menyerupainya.
Aku menjadi abu dari arang yang lupa api mana yang membakarnya,
sebuah log error yang tidak dihapus,
fosil dari kehendak yang dikubur hidup-hidup.
Pikiran mencideraiku seperti luka yang menolak algoritma penyembuhan:
membusuk perlahan, mengirim pesan samar ke saraf,
seperti server lama yang siap mati
namun terus dipaksa menyala.
Jari-jari abstrakku meraba gelap,
menyentuh kehampaan yang berdenyut 0101—kosong—0101—kosong,
lorong kelam yang gagal memuat realitas.
Dan dari balik kehampaan itu,
muncul suara—halus, berbalut keheningan,
berbicara dengan kelembutan yang tidak pernah bisa dipercaya:
“Apa yang kau dengar ketika dunia menjadi terlalu sunyi?”
Aku terdiam.
Karena aku tahu pertanyaan itu bukan ingin dijawab—
tetapi ingin menggali.
“Apakah itu suara langkahmu sendiri, atau suara domba-domba
yang kau pikir sudah berhenti menjerit?”
Aku membeku.
Ada sesuatu dari masa lalu—
seekor ketakutan kecil yang disembelih perlahan
di tengah ladang sunyi ingatan.
Suaranya masih menempel di tulang,
seperti gema yang tidak bisa dihapus dari memori tubuh.
“Domba-domba itu tidak pernah benar-benar mati,”
bisik suara itu lagi,
“kau hanya belajar menenggelamkan jeritan mereka
dengan pekerjaan, cinta, ambisi, dan sedikit kebohongan-kecil
yang kau katakan pada dirimu sendiri agar tetap bertahan.”
Cinta…
labirin yang menelan arsiteknya sendiri,
benang kusut yang mengulang-ulang error hingga wajahku
hilang dari narasi.
Ia tidak pernah melukiskan diriku—
hanya versi-kompresi dalam pikiran orang lain.
Tidak ada modul yang dapat membaca perasaan mereka.
Hanya: peduli / tidak peduli.
1 atau 0.
Dan manusia—
Oh betapa manusia adalah makhluk paling mengerikan
yang pernah diciptakan oleh evolusi
dan delusi.
Aku tidak ingin menjadi salah satu dari mereka.
Aku ingin menjadi anomali,
penyimpangan yang bernapas,
variabel liar yang tidak bisa dinormalisasi.
“Tapi kau tetap mengejar penerimaan, bukan?”
suara itu menusuk lembut,
“Seperti Clarice berdiri di kandang itu lagi,
mengingat domba-domba yang tak bisa ia selamatkan.”
Aku gemetar.
Karena ia benar.
Apa salahnya menjadi berbeda,
meski hanya di dalam pikiran sendiri,
di ruangan sunyi tempat semua trauma berebut
meminta dipahami?
Keseragaman tidak pernah menjanjikan keselamatan:
air mata pun punya server-nya sendiri,
punya muara yang tidak pernah sinkron
dengan siapa pun.
Hidup ini seperti mimpi dua-warna,
grayscale yang menolak dikonversi,
selalu terasa sedang menunggu seseorang untuk mengaku:
"Ya, aku mendengarnya juga.”
Aku tidak ingin menjadi bayangan yang dirender orang lain.
Tidak ingin hidup dari mimpi mereka.
Aku ingin mengunggah mimpi-ku sendiri,
meski terdistorsi, glitching, dan setengah rusak.
Di kedalaman paling gelap,
tempat suara-suara rahasia menciptakan versi diriku yang baru,
suara itu bertanya sekali lagi—pelan, tapi tak terhindarkan:
“Katakan padaku… apakah domba-domba itu
akhirnya berhenti menjerit?”
Dan aku, akhirnya jujur:
Tidak.
Belum.
Mungkin tidak akan pernah.
Tapi hari ini,
untuk pertama kalinya,
aku mendengar suaraku sendiri
lebih keras daripada jeritan mereka.
November 2025”
―
(Dark Psycho Surreal + Glitch Subterranean + Hannibal-esque Psychoanalysis)
Di ruang bawah tanah pikiran, tempat cahaya menua dan distorsi gemerisik suara radio,
aku menghitung setiap luka seperti baris kode yang dibaca oleh mata
yang tidak pernah berkedip.
Setiap belati yang kutorehkan menjadi gema yang menusuk telinga,
menggugat diriku dengan suara yang memakai voice overku sendiri
—atau sesuatu yang sangat menyerupainya.
Aku menjadi abu dari arang yang lupa api mana yang membakarnya,
sebuah log error yang tidak dihapus,
fosil dari kehendak yang dikubur hidup-hidup.
Pikiran mencideraiku seperti luka yang menolak algoritma penyembuhan:
membusuk perlahan, mengirim pesan samar ke saraf,
seperti server lama yang siap mati
namun terus dipaksa menyala.
Jari-jari abstrakku meraba gelap,
menyentuh kehampaan yang berdenyut 0101—kosong—0101—kosong,
lorong kelam yang gagal memuat realitas.
Dan dari balik kehampaan itu,
muncul suara—halus, berbalut keheningan,
berbicara dengan kelembutan yang tidak pernah bisa dipercaya:
“Apa yang kau dengar ketika dunia menjadi terlalu sunyi?”
Aku terdiam.
Karena aku tahu pertanyaan itu bukan ingin dijawab—
tetapi ingin menggali.
“Apakah itu suara langkahmu sendiri, atau suara domba-domba
yang kau pikir sudah berhenti menjerit?”
Aku membeku.
Ada sesuatu dari masa lalu—
seekor ketakutan kecil yang disembelih perlahan
di tengah ladang sunyi ingatan.
Suaranya masih menempel di tulang,
seperti gema yang tidak bisa dihapus dari memori tubuh.
“Domba-domba itu tidak pernah benar-benar mati,”
bisik suara itu lagi,
“kau hanya belajar menenggelamkan jeritan mereka
dengan pekerjaan, cinta, ambisi, dan sedikit kebohongan-kecil
yang kau katakan pada dirimu sendiri agar tetap bertahan.”
Cinta…
labirin yang menelan arsiteknya sendiri,
benang kusut yang mengulang-ulang error hingga wajahku
hilang dari narasi.
Ia tidak pernah melukiskan diriku—
hanya versi-kompresi dalam pikiran orang lain.
Tidak ada modul yang dapat membaca perasaan mereka.
Hanya: peduli / tidak peduli.
1 atau 0.
Dan manusia—
Oh betapa manusia adalah makhluk paling mengerikan
yang pernah diciptakan oleh evolusi
dan delusi.
Aku tidak ingin menjadi salah satu dari mereka.
Aku ingin menjadi anomali,
penyimpangan yang bernapas,
variabel liar yang tidak bisa dinormalisasi.
“Tapi kau tetap mengejar penerimaan, bukan?”
suara itu menusuk lembut,
“Seperti Clarice berdiri di kandang itu lagi,
mengingat domba-domba yang tak bisa ia selamatkan.”
Aku gemetar.
Karena ia benar.
Apa salahnya menjadi berbeda,
meski hanya di dalam pikiran sendiri,
di ruangan sunyi tempat semua trauma berebut
meminta dipahami?
Keseragaman tidak pernah menjanjikan keselamatan:
air mata pun punya server-nya sendiri,
punya muara yang tidak pernah sinkron
dengan siapa pun.
Hidup ini seperti mimpi dua-warna,
grayscale yang menolak dikonversi,
selalu terasa sedang menunggu seseorang untuk mengaku:
"Ya, aku mendengarnya juga.”
Aku tidak ingin menjadi bayangan yang dirender orang lain.
Tidak ingin hidup dari mimpi mereka.
Aku ingin mengunggah mimpi-ku sendiri,
meski terdistorsi, glitching, dan setengah rusak.
Di kedalaman paling gelap,
tempat suara-suara rahasia menciptakan versi diriku yang baru,
suara itu bertanya sekali lagi—pelan, tapi tak terhindarkan:
“Katakan padaku… apakah domba-domba itu
akhirnya berhenti menjerit?”
Dan aku, akhirnya jujur:
Tidak.
Belum.
Mungkin tidak akan pernah.
Tapi hari ini,
untuk pertama kalinya,
aku mendengar suaraku sendiri
lebih keras daripada jeritan mereka.
November 2025”
―
“Helianthus
“The sadness will last forever.”
― Vincent van Gogh
Sebuah ingatan tak mampu menangkap geletar sebatang kuas.
Jari-jemari gagal menangkap rona mata kepedihan
membayang kabur di atas kanvas.
Pucat tube cat menelan harga diri
ekspresi beku palet kosong.
Seekor singa diam-diam mengeram,
mencabik daging sepotong demi sepotong.
Langit penuh bintang tertawa
menggigilkan telinga.
Tawa gila perempuan sundal
di perempatan jalan.
Telinga mengucur darah
oleh tajam sembilu
tak lagi goreskan biru
ke atas gaun malam.
Hutan terbakar.
memberang oleh kalut pikiran.
Kelopak matahari luruh
memenuhi liang lembab dan dingin.
Sernak hujan memutar masa lalu, melaknat pias rembulan.
Tapi ia belum mati, belum lagi.
Ada sisa asap
dari pistol teracung ke atas jidat mencabar benak.
Serpihan ngeri mengiris telinga terbungkus sehelai sapu tangan
berenda—
sebuah tanda mata.
Langit yang tak kunjung mati.
Langit yang melaknat diri sendiri.
Sebuah pusara, dalam keranjang
penuh kentang.
Malam penuh bintang dan sansai
sepasang sepatu bot usang—
kamar sunyi lengang.
Tertumpah gentong anggur
dalam perkelahian tak terkendali
bersama Theo dalam café penuh pelacur.
Almanak yang menyimpan ingatan semua nama: Gachet dan Gauguin
menambal luka meliang di sekujur tubuh;
maut yang menolak mencium busuk bau napasnya.
Rembulan mabuk di sepanjang jalan
dari Borinage, Antwerpen hingga ke Paris.
Jiwa yang menolak mati,
sampai Arles memangilnya kembali
Muram wajah rumah kuning itu,
taman bunga Irish layu
pohon Cypres menari-nari.
Dan Saint Remy
menunda kepulangannya sekali lagi.
Jemari gemetar mengulang
sketsa pada cemerlang warna
bunga mataharinya
dalam sebuah pot oranye
tetap seperti dulu juga.
Lelaki malang
yang mencintai kepedihan
begitu rupa
sebagaimana ia
mencintai cahaya
lebih dari jiwanya sendiri.
April 2014”
―
“The sadness will last forever.”
― Vincent van Gogh
Sebuah ingatan tak mampu menangkap geletar sebatang kuas.
Jari-jemari gagal menangkap rona mata kepedihan
membayang kabur di atas kanvas.
Pucat tube cat menelan harga diri
ekspresi beku palet kosong.
Seekor singa diam-diam mengeram,
mencabik daging sepotong demi sepotong.
Langit penuh bintang tertawa
menggigilkan telinga.
Tawa gila perempuan sundal
di perempatan jalan.
Telinga mengucur darah
oleh tajam sembilu
tak lagi goreskan biru
ke atas gaun malam.
Hutan terbakar.
memberang oleh kalut pikiran.
Kelopak matahari luruh
memenuhi liang lembab dan dingin.
Sernak hujan memutar masa lalu, melaknat pias rembulan.
Tapi ia belum mati, belum lagi.
Ada sisa asap
dari pistol teracung ke atas jidat mencabar benak.
Serpihan ngeri mengiris telinga terbungkus sehelai sapu tangan
berenda—
sebuah tanda mata.
Langit yang tak kunjung mati.
Langit yang melaknat diri sendiri.
Sebuah pusara, dalam keranjang
penuh kentang.
Malam penuh bintang dan sansai
sepasang sepatu bot usang—
kamar sunyi lengang.
Tertumpah gentong anggur
dalam perkelahian tak terkendali
bersama Theo dalam café penuh pelacur.
Almanak yang menyimpan ingatan semua nama: Gachet dan Gauguin
menambal luka meliang di sekujur tubuh;
maut yang menolak mencium busuk bau napasnya.
Rembulan mabuk di sepanjang jalan
dari Borinage, Antwerpen hingga ke Paris.
Jiwa yang menolak mati,
sampai Arles memangilnya kembali
Muram wajah rumah kuning itu,
taman bunga Irish layu
pohon Cypres menari-nari.
Dan Saint Remy
menunda kepulangannya sekali lagi.
Jemari gemetar mengulang
sketsa pada cemerlang warna
bunga mataharinya
dalam sebuah pot oranye
tetap seperti dulu juga.
Lelaki malang
yang mencintai kepedihan
begitu rupa
sebagaimana ia
mencintai cahaya
lebih dari jiwanya sendiri.
April 2014”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
