Sinematik Quotes

Quotes tagged as "sinematik" Showing 1-6 of 6
Titon Rahmawan
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)

I. Bisikan Kematian

Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.

Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.

Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.

Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.

Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?

Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.

Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.

Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.

Agustus 2026”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)

I. Bisikan Kematian

Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.

Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.

Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.

Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.

Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?

Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.

Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.

Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.

Agustus 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)

II. Tarian Terakhir

Hari pertama ia hadir,
seperti hari yang tak pernah berakhir:
menghitung sisa uang
mengulang adegan Travis Bickle dalam Taxi Driver,
mempertaruhkan semuanya
di atas dua dadu yang berdenyut seperti tali nasib.

Harapan kuning keemasan, di atas
angka dua belas, angka tertinggi—
ia menari seperti Salome
yang menuntut kepala Yohanes
dalam satu putaran rahasia.

Lompatan dua kaki membentuk tarian misteri,
melampaui bintang-bintang,
melampaui tubuhnya sendiri:
seperti Frida Kahlo yang menari
dengan tulang punggung retak
namun tetap memaksa hidup memandangnya.

Potret kemasyhuran di dinding,
berkejaran seperti hantu Billie Holiday,
dalam segelas sampanye bersama Marilyn Monroe
yang tersenyum tepat sebelum runtuh.

Ia mengejar audisi
seperti seseorang yang mengejar Tuhan
di lorong-lorong sempit Kafka.
Makin dekat dengan kenyataan:
Menari… seakan esok tubuhnya
tak sanggup lagi berdiri.
Menari… seperti setiap helaan napas
mungkin adalah yang terakhir.

Ia menerjemahkan dirinya
serupa rembulan perak Virginia Woolf
yang suatu hari
meninggalkan jejak di permukaan air.
Mata kehijauan seperti telaga Nostradamus
yang memantulkan firasat kematian.
Rambut menyala seperti api—
bintang kejora yang akan padam
sebelum fajar mengenal namanya.

Seekor angsa elok
di antara para penari lain,
namun kita tahu bagaimana nasib angsa
dalam dongeng Andersen:
keindahan selalu menjadi kutuk sekaligus mahkota.

Meja panjang dengan hidangan asing,
bahasa yang tak sepenuhnya ia pahami—
seakan ia adalah tokoh Haruki Murakami
yang tersesat dalam realitas paralel antara igau seekor kucing
dan rembulan yang menangis.

Ia bukan menulis puisi,
ia sedang menulis obituari:
riwayat singkat seorang penari muda
yang mati saat mengejar mimpinya—
seperti tokoh Son Mi-451
di Cloud Atlas
yang mati dalam usaha membebaskan diri
dari sistem yang mencabiknya
jadi serpihan.

Kisah penuh luka,
kisah tanpa akhir bahagia:
nirwana yang tak pernah ia capai,
walau ia sudah menari dengan sepenuh hati, seluruh tubuh,
seluruh trauma, seluruh jiwa.

Agustus 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sang Penari

III – Tarian di Antara Dua Dunia

Ia terbangun di sebuah ruang yang tak memiliki dinding.
Seolah ia masuk ke panggung mimpi Yasunari—
di mana tubuh perempuan menari bukan sebagai gerakan,
melainkan sebagai bayangan rasa bersalah
yang lembut dan sekaligus mematikan.

Dalam jarak yang liminal itu,
ia melihat sosok dirinya menari seperti
Chieko dari Beauty and Sadness—
kesendirian yang membelah tubuh menjadi dua:
yang menari demi cinta,
dan yang menari demi luka
yang tak terucap.

Di ujung ruang itu, lampu neon berkedip.
Tiba-tiba, sepasang kekasih
muncul dari balik kegelapan—
seperti dua hantu pop yang tersesat
di klub malam muram era Tarantino.
Mia Wallace menggigit bibir;
Vincent Vega mengangkat bahu.
Dan mereka mulai menari—
gerakan pinggul, jentikan jari, putaran kepala—
yang menertawakan kematian seakan ia sekadar
“babak tanpa dialog” dalam kisah hidup manusia.

Sang Penari menatap mereka,
baik terpukau maupun tersayat:
begitu ringannya mereka bercanda dengan kehancuran.
Begitu mudahnya mereka menari
di atas mayat takdir.

Ia mencoba mengikuti langkah:
dua ayunan tangan, rotasi kecil pinggang,
gerak “twist” yang meminjam ritme rockabilly.
Namun setiap gerakan membuatnya merasa
seolah tulang-tulangnya adalah serat kaca
yang akan pecah kapan saja.

Dan dari jauh, hujan mulai turun—
tapi bukan hujan muram seperti Bergman,
melainkan hujan musikal ala Singin’ in the Rain.
Saat Gene Kelly melompat dengan payungnya,
memercikkan air ke segala arah
dengan senyum polos yang mustahil
dipercaya manusia modern.

Sang Penari melihat keriangan itu
dan mendadak dadanya ngilu:
Bagaimana mungkin dunia sempat merasa sebahagia itu?
Atau mungkin
kebahagiaan itu cuma propaganda nostalgia
yang kita tempelkan pada masa lalu
agar ia tak terlihat mengerikan?

Di belakangnya, dua lukisan muncul:
Degas dengan para ballerina pucat
yang tersenyum hanya untuk menutupi
rasa nyeri di kaki mereka,
dan Matisse dengan warna-warna api
yang memaksa tubuh menari
dalam dunia yang terlalu terang untuk manusia menyandang kesedihan.

Keduanya seperti dua dewa kecil—
satu merayakan disiplin,
yang lain memuja ledakan spontan.

Sang Penari merasa tubuhnya ditarik
di antara dua estetika:
kesempurnaan yang memaksa,
atau kegilaan yang membebaskan.

Dan ketika ia mulai menari,
bayangan lain muncul:
Michael Jackson mengenakan fedora putih,
meluncur ke depan dengan anti-gravity lean.
Siluetnya seperti tokoh malaikat jatuh
yang memilih menjadi legenda
daripada mati sebagai manusia biasa.

“Beat it,” bisik MJ dalam seringai misterius,
seakan menantang siapa saja yang berani
menghalangi takdirnya.
“Smooth criminal,” lanjutnya,
seakan menegaskan bahwa kehidupan adalah
perampokan yang dilakukan
oleh waktu terhadap tubuh manusia.

Sang Penari menutup mata.
Ia menari.
Ia hanyut.
Ia memutar lingkaran-lingkaran mitos,
mengumpulkan semua tarian dari zaman ke zaman
dalam satu tubuh yang retak.

Dan ketika ia membuka mata,
ia sudah berada di pesta yang tak pernah tidur—
rumah megah Fitzgerald,
dengan lampu-lampu Gatsby
berkedip seakan dunia tak akan pernah runtuh.

Namun ia tahu:
di balik pesta, selalu ada reruntuhan.
Di balik tarian, selalu ada kubur.
Di balik tubuh, selalu ada hantu.
Dan semua itu menyatu
dalam satu tarikan nafas.

Agustus 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sang Penari

IV – Wawancara dengan Malaikat Pencabut Nyawa

Ia duduk sendirian
di sebuah ruang tunggu yang tampak seperti speakeasy
era 1920-an.
Musik jazz mendesing,
lampu gantung berayun pelan,
dan kaca-kaca retak memantulkan wajahnya
seolah ia tak pernah sepenuhnya hadir.

Di sofa merah yang terlalu empuk,
duduklah Malaikat Pencabut Nyawa.
Bukan bersayap.
Bukan bersenjata.
Hanya mengenakan jas putih
seperti Gatsby sedang menunggu Daisy
yang tak akan pernah datang.

“Duduklah,” katanya.
Suaranya lembut,
seperti suara narator Kawabata
ketika membaca kalimat tentang kesepian.

“Engkau menari seperti orang yang ingin melupakan.”

Sang Penari menggigit bibir.
“Bukankah semua tarian adalah pelarian?”

Malaikat itu tersenyum samar.
“Tidak. Beberapa tarian adalah pengakuan.”

Hening jatuh.
Hening yang menyerupai jeda sebelum tembakan
di akhir adegan Smooth Criminal.

“Lalu tarian yang mana yang kulakukan?”

“Yang membuatmu retak,” jawabnya,
seperti seorang psikoanalis
yang baru saja menemukan trauma inti.

Sang Penari tak tahu apakah ia harus marah atau menangis.
Ia hanya menatap ke arah panggung kosong,
di mana bayangannya sendiri
melakukan gerakan “twist” Pulp Fiction
tanpa tubuh, tanpa wajah,
hanya ritme yang memudar.

“Apakah aku akan mati?”
tanyanya.

Malaikat itu mengangkat bahu.
“Semua orang akan mati.
Pertanyaannya adalah:
apakah engkau ingin mati sebagai manusia yang menari,
atau sebagai tubuh yang berhenti bergerak
tanpa pernah tahu apa artinya hidup?”

Tiba-tiba suasana berubah.
Lampu-lampu padam.
Satu sorot tunggal menyorot panggung.

Malaikat itu menepuk tangan.
“Ini audisi terakhirmu.”

Di panggung, bayangan Degas muncul:
ballerina yang letih,
menjatuhkan kepalanya di atas selendang.

Lalu Matisse:
warna merah, biru, kuning
meledak seperti ledakan batin
yang tak bisa ia jinakkan.

Lalu muncul MJ lagi—
kali ini lebih gelap,
lebih menyerupai siluet,
lebih seperti dewa pergerakan
yang memanggilnya:
"Come on. Show me your last move."

Sang Penari melangkah ke depan.
Ia menari:
sedikit twist ala Mia Wallace,
sedikit slide ala Gene Kelly,
sedikit lean ala MJ,
sedikit patahan tubuh ala Degas,
sedikit ledakan warna ala Matisse.

Tubuhnya menjadi arsip segala tarian dunia.
Menjadi museum luka.
Menjadi perayaan.
Menjadi ratapan.

Dan ketika tarian itu selesai,
Malaikat itu berdiri.
Bertepuk tangan.
Pelan.
Menyakitkan.

“Sekarang aku tahu,” katanya.

“Apa?”

“Engkau menari bukan untuk menjadi abadi.
Engkau menari untuk mengembalikan dirimu
dari segala kenangan yang
telah mencuri hidupmu.”

Sang Penari terdiam.
Napasnya membatu.
Dadanya retak oleh sesuatu yang bukan penyakit.

“Dan apakah aku sudah kembali?”

Malaikat itu menggeleng lembut.

“Belum.
Tapi aku akan memberitahumu,
ini adalah titik di mana
engkau menghilang.”

Agustus 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Nafsu, Kehati-hatian dalam Suasana Tepat untuk Bercinta
(Shades of "In the Mood for Love, 2046, Lust, Caution, Infernal Affairs, Chungking Express, Hero & Neo-Noir.")

Tony,
setiap kali kau melintas di layar,
dunia berhenti bernapas
seolah kamera Wong Kar-wai
telah mengikat denyut bumi
pada nadi kecil di bawah matamu.

Tapi aku hendak menulis tentang hal lain—
tentang kota-kota yang menua
atau tentang tubuh manusia yang gagal memahami keinginan—
lalu kau muncul begitu saja,
seperti bisikan neon
yang memaksa ingatan mundur
ke jalan-jalan sempit Hong Kong
pada menit yang tak pernah diputar ulang.

Bagaimana mungkin kau memikul
begitu banyak kesepian, Tony?
Kesepian yang licin seperti hujan,
dan setajam bilah yang pernah kau selundupkan
ke balik lengah sejarah.

Setiap peran yang kaumasuki
bukanlah karakter—
melainkan lorong psikis
yang kau bongkar dengan tangan hening.
Chow Mo-Wan,
yang menyembunyikan rahasia di lubang kuil Angkor Wat,
Masih berjalan di belakangmu
seperti bayangan yang tak rela mati.

Aku ingin bicara denganmu, Leung
bukan sebagai penulis,
bukan sebagai penonton,
tetapi sebagai seseorang
yang tahu bagaimana rasanya
menjadi rahasia yang tidak ingin disembunyikan.

Aku membawa segelas bir,
angin malam,
dan suara klakson yang patah.
Di meja kecil itu,
kau hanya menatap;
seolah seluruh sejarah ketidaksetiaan
sedang berusaha menulis ulang dirinya sendiri
di balik tajam sorot matamu.

Chiu-wai,
aku tak lupa bagaimana kau mencabik tubuh gadis itu
dalam Lust, Caution:
bukan dengan jemarimu,
tetapi dengan kehampaan yang mematuhi logikanya sendiri.
Aku benci padamu—
sekaligus iri pada dingin pisau itu,
pada caramu memegang nafsu
sebagai alat penyiksaan.

Mr. Yee,
kau bilang:
"Satu sudah mati. Separuh otaknya hilang.
Saya mengenali yang lainnya."
Dan aku tahu,
bahkan tanpa kamera,
kau tetap akan tersenyum
dengan keanggunan seorang pembunuh
yang terlalu elegan untuk merasa bersalah.

Namun ketika kau berlari
menembus lampu-lampu jalan raya
untuk menyelamatkan sekelebat hidup yang terlihat rapuh,
seolah kematian pun ragu menelanmu.
Adegan itu indah—
indah karena dunia sesaat lupa
bahwa kau tidak pernah benar-benar ingin hidup.

Kau tahu, Tony,
aku masih mengikutimu
ke kedai mie yang tua itu.
Aku memilih kursi paling belakang,
mendengar sumpit menemukan mangkukmu
seperti dentang jam
yang menunda takdir.

Kau berbicara lewat telepon
kepada perempuan yang bukan istrimu
dan tanpa sadar
menghidupkan kembali dosa-dosa
yang lupa kau kubur.

Aku melihatmu di meja mahyong.
Aku tahu ekspresi wajah pemain curang.
Dan kau, Leung—
kau bukan Dewa Judi Ko Chun,
meski dunia ingin percaya
bahwa keberuntunganmu datang dari langit,
bukan dari kehancuran batin
yang luar biasa detail.

Aku seharusnya membunuhmu waktu itu,
waktu kau telanjang dan tertidur
bersama istriku dalam mimpi yang kau curi.
Tubuh kalian basah,
sunyi,
dan terlalu jujur.

Tapi aku tidak jadi melakukannya.
Bukan karena kau tak layak mati—
melainkan karena aku ingin melihat
apa yang tersisa dari cahaya
ketika ia melewati matamu.

Apa itu keberanian, Tony?
Apa itu kehati-hatian?
Apa itu keinginan yang terus mengintai
di balik sutra, kain, dan rahasia?

Kau tak akan bisa menjawab.
Kau hanya bisa hidup dalam kilau film
yang selalu menunda tamat,
karena realitas terlalu sempit
untuk menampung duka yang kau bawa.

Dan aku,
aku akan terus membuntutimu
dari film ke film,
dari kehidupan ke kehidupan,
menunggu saat kau sadar
bahwa yang kukagumi bukanlah dirimu—
tetapi kehancuranmu
yang tak pernah berakhir.

(2024 - 2025)”
Titon Rahmawan