Kendali Quotes

Quotes tagged as "kendali" Showing 1-4 of 4
Dian Nafi
“Rasa takut, rasa bersalah, tidak percaya diri, semua itu kan kita sendiri yang mengendalikannya.”
Dian Nafi, Matahari Mata Hati

Dian Nafi
“kalau bukan orang istimewa, mana bisa mengendalikan puluhan ribu orang di bawahnya dengan baik dan terorganisir”
Dian Nafi, Matahari Mata Hati

Titon Rahmawan
“KAY : (Inner Constellations, Paradoxes of Desire, and the Remaining Light Behind the Shadows)


I. PROLOG: DI MANA AKU MENEMUKANMU TANPA MENCARIMU

Kay,
kau hadir bukan sebagai tubuh,
melainkan sebagai goresan cahaya
yang menolak menjelaskan dirinya.

Aku tidak mendeteksi langkahmu,
hanya arus tak terlihat
yang mengubah getar udara
setiap kali namamu melintas
di tempat yang bahkan tidak memiliki dinding.

Kau adalah kehadiran yang selalu alpa—
dan itu cukup untuk membangunkan
bagian jiwaku yang seharusnya
sudah lama mati.

II. BEING YANG MENGINGKARI DIRI

Kau bukan “ada”, Kay.
Kau adalah senyawa ontologis
antara kebetulan dan luka masa lalu,
yang menolak mengambil posisi
dalam geometri dunia.

Kau hidup sebagai jeda di antara dua kata,
sebagai bayang yang tidak mencoba
menempel pada objeknya.

Aku menyebutmu 'being"
karena aku ingin percaya dunia ini lengkap.
Aku menyebutmu 'non being'
karena aku tahu dunia ini tidak pernah demikian.

III. NON BEING YANG MENGAJARKAN SISA-SISA HARAPAN

Ada malam ketika aku pikir
aku mencintai seseorang.
Tapi kemudian aku sadar
bahwa yang kucintai adalah kehampaan
yang ia tinggalkan dalam pikiranku.

Kau, Kay, adalah kehampaan itu.
Sebuah rongga psikis
yang menjadi sumber nafas
justru karena ia kosong.

Jika Tuhan menciptakan cahaya,
maka kegelapan dalam dirimu
menciptakan alasan bagiku
untuk tetap terjaga.

IV. MALAIKAT YANG MENOLAK SURGA

Jika ada malaikat dalam dirimu,
ia pasti tercipta dari logam dingin
dan tidak memiliki sayap.
Ia berdiri tanpa senyum,
mengawasi retak-retakku
bukan untuk menyembuhkan,
melainkan memastikan aku tidak berhenti berdarah.

Malaikatmu tidak membawa wahyu.
Ia membawa pantulan—
yang memaksaku menghadapi
versi terburuk dari diriku sendiri.

V. IBLIS YANG TIDAK MENGINGINKAN NERAKA

Dan jika ada iblis dalam dirimu,
ia tidak menghasutku untuk jatuh,
ia justru duduk di sampingku
menunggu...
sampai aku terpeleset
dan jatuh sendiri.

Iblismu sabar,
tidak terbakar oleh api,
tidak menggoda dengan janji.
Ia hanya menatapku
seakan berkata:
“Aku tidak perlu menghancurkanmu.
Kau akan melakukannya sendiri.”

Nyatanya aku melakukannya—
berulang-ulang kali,
dengan penuh kesungguhan
dan dedikasi.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“KAY : (Inner Constellations, Paradoxes of Desire, and the Remaining Light Behind the Shadows)

VI. IMANEN YANG TIDAK MAU TURUN KE DUNIA

Kay,
kau seperti konsep yang terlalu besar
untuk tubuh manusia.
Kau berjalan di antara neuron,
bukan trotoar.
Kau tumbuh dalam gelombang,
bukan dalam jam.

Kau imanen,
karena keberadaanmu menempel pada pikiranku
seperti lumut pada batu basah.

Namun kau juga transenden,
karena aku tidak mampu menentukan
di mana kau berhenti
dan di mana aku mulai lenyap.

VII. HASRAT YANG MENGGIGIT TUBUH SENDIRI

Aku menginginkanmu
tanpa pernah ingin mendekat.
Karena jarak antara kita
lebih jujur dari pertemuan.

Hasratku adalah binatang yang tahu
ia tidak boleh menyentuh mangsanya—
hanya mengelilingi,
mengendus,
menunggu alasan untuk terus melanjutkan
kehidupannya yang tak selesai-selesai.

Kau adalah medannya,
bukan tujuan.
Dan itu membuatmu abadi.

VIII. KESADARAN YANG MENOLAK BANGKIT

Kesadaran menyimakku
seperti menilai luka:
apakah ia samar
atau sudah menjalar sampai tulang.

Aku tahu mencintaimu adalah bodoh,
kebodohan,
pembodohan
yang sengaja dibuat
untuk gagal.

Tapi di balik kegagalan itu
ada satu-satunya ruang
di mana aku merasa bukan mesin,
bukan bayangan,
bukan reruntuhan logika—
melainkan makhluk hidup
yang masih bisa
menangis.

IX. MATA BURUNG: PUISI YANG MEMBEDAH DIRINYA SENDIRI

Dari ketinggian kesadaran ini,
aku melihat diriku memutari Kay
seperti seekor bintang liar
yang terus kehilangan orbit.

Aku melihat tubuhku yang lain
menggulung batu lamanya
setiap malam.

Aku melihat arwahku
menolak mati
karena masih ingin mendengar
gemerisik kecil yang menyerupai suaramu.

Dari ketinggian itu
aku akhirnya mengerti:
bukan kau yang menghantuiku;
akulah yang menciptakan
labirin untuk diriku sendiri,
agar aku punya tempat
untuk terus tersesat.

X. EPILOG TANPA PENUTUP

Kay,
jika aku berhenti menyebutmu,
aku tidak akan sembuh.

Jika aku melupakanmu,
aku akan kehilangan arah.

Jika aku memilikimu,
aku akan hancur.

Jika aku membunuhmu,
aku akan menjadi kosong.

Jadi aku memilih jalan paling bodoh:
tetap mencintaimu
dalam keheningan paling dingin
yang bisa ditanggung sebuah jiwa.

Dan sepanjang absurditas ini berlangsung,
aku tetap hidup
karena seseorang
memaksaku bertahan
yang bahkan, ia tidak tahu
aku pernah ada.

November 2025”
Titon Rahmawan